AKU
TAK PERNAH MENYERAH
Dari hasil yang kecil hingga bisa mencukupi
“Di mulai dari hasil yang kecil, tapi ketika kita yakin dan sabar menekuninya semua dapat memberikan hasil yang
baik.”
Ibu
Henis (70), telah menjadi seorang
pedagang gorengan di depan Sekolah Dasar Negeri (SDN) Tajur di kawasan Parung, Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor sejak dua puluh
tahun yang lalu. Hidupnya yang sudah sendirian sejak ditinggalkan oleh sang
suami serta ibunya membuat ia harus berusaha lebih keras untuk membiayai
kehidupan dan anak-anaknya yang berjumlah lima orang.
Ibu
Heni mempunyai enam orang kakak dan satu orang adik, akan tetapi semua kakaknya itu
telah meninggal dunia sejak mereka masih kecil. Ia pun tidak pernah tahu paras
wajah ke enam kakaknya karena ketika mereka meninggal, saat itu umur Ibu Heni
masih sangat muda. Bahkan, ayahnya yang juga telah meninggal sejak ia kecil,
membuat ia tidak pernah tahu rupa dari ayahnya itu.
Ditemui
di tempat berjualannya di saung mungil depan SDN Tajur, Parung-Bogor, ia
menceritakan semua kisahnya sejak ia mulai ditinggal oleh sang suami dan harus
menafkahi semua kehidupan dan pendidikan anak-anaknya sejak dua puluh tahun
lalu.
Dua
puluh tahun sudah ia berjualan dan dua puluh tahun sudah ia menafkahi kehidupan
keluarganya sendirian. Pendapatannya yang tidak seberapa dari hasil ia
berjualan gorengan tidak membuat ia gentar untuk melakoni hidup. Alhasil, ia
berhasil membiayai pendidikan anaknya mulai dari SD, SMP, juga SMK. Bahkan
Hendro, anaknya yang paling tua telah berhasil sampai melanjutkan pendidikannya
hingga ke bangku kuliah. “Saya sangat ingin melihat anak-anak saya berhasil,
walaupun saya hanya seorang penjual gorengan dengan penghasilan yang pas-pasan,
namun saya selalu menomor satukan pendidikan anak-anak saya. Kebetulan Hendro,
anak saya yang paling tua, memiliki semangat yang besar dalam menjalani
kehidupan kami dengan keadaan yang serba
pas-pasan," tutur Heni.
"Ketika ia sekolah, ia mencari kerja sambilan
dengan cara menjadi kuli. Berbagai pekerjaan berat pernah ia lakoni, antara
lain menjadi cleaning service, tukang cuci mobil, hingga mengamen. Semua itu
dia lakoni sendiri tanpa saya paksakan. Ia menjalaninya sendiri dengan ikhlas.
Alhasil, kini ia telah berhasil bekerja sebagai karyawan swasta dan juga telah mengajar di daerah Bekasi-Jawa Barat,” tambahnya.
Anaknya
yang juga sukses adalah anak laki-laki kedua bernama Muhamad Slamet yang
menggeluti usaha Bidingan (sejenis kerajinan tangan merajut mute pada kerudung).
Menurutnya Ibu Heni, ia memulai usaha bidingannya ketika ia mendapatkan orderan
untuk membiding kerudung milik salah seorang tetangganya yang juga menggeluti
usaha bidingan itu terlebih dulu ketika ia masih duduk di sekolah dasar. Ia
mulai berfikir untuk mengembangkan usaha bidingan itu ketika ia tahu bahwa
terdapat peluang besar dalam usaha tersebut.
Hingga
ketika ia memulai usaha mandirinya itu, ia pun menjalaninya dengan penuh
perjuangan. Walaupun pada awalnya terdapat banyak kendala, tapi semua itu tidak
menyuluti niatnya untuk melanjutkan usaha bidingan tersebut. Hingga akhirnya ia
berhasil memetik hasilnya.
Kini ia sudah mempunyai rumah sendiri dan
membuka usaha toko makanan dan aneka jajanan di rumahnya. Walaupun
pendidikannya yang hanya sampai tingkat
Sekolah Dasar saja, tapi jiwa usaha serta pantang menyerah yang diajarkan
oleh Ibu Henis telah mendarah daging kepada dirinya serta anak-anaknya yang
lain.
Anaknya
yang lain yang telah hidup mandiri yaitu Ade Endang, ia merupakan anak ketiga.
setelah ia lulus dari sekolah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Yapia tahun 2002, ia memilih untuk tidak
melanjutkan pendidikannya, namun ia ingin langsung bekerja karena melihat
faktor ekonomi keluarganya yang tidak memungkinkan. kini ia bekerja sebagai
security di salah satu perusahaan di Bogor-Jawa Barat. Sedangkan dua anak
perempuannya yang lain masing-masing telah berumah tangga dan hidup bersama
suaminya masing-masing.
Ibu
Heni pernah menjadi seorang pembantu rumah tangga pada 1988, tapi karena
faktor umur yang semakin tua, kemudian ia mulai berjualan gorengan dengan hasil
dan modal yang serba pas-pasan.”Dulu ketika awal berjualan penghasilan sehari-hari saya Rp10.000 sampai Rp15.000/harinya. Tapi alhamdulillah, kini
penghasilan sehari-hari saya mencapai Rp70.000/hari. Walaupun terkadang
kurang, namun penghasilan yang sekarang ini sudah sangat saya syukuri
hasilnya,” ujarnya.
Menurut
pengakuannya, pahit manis kehidupannya sudah ia rasakan sejak ia mulai ditinggal semua anggota keluarga yang ia cintai. Dulu ibunya juga berprofesi
sebagai penjual makanan di kawasan asli tempat tinggalnya di Bekasi. Dulu
mereka semua tinggal di sana, bersama dengan ayah dan saudara-saudaranya. Namun,
ketika Ibu Heni bertemu dengan sang suami, akhirnya ia pun ikut tinggal
bersamanya di Kampung Tajur, Parung-Bogor.
Dimulai
pada 1990 berjualan, sedikit demi sedikit ia mengumpulkan uang hasil berjualan dan hasil
kerjanya sebagai pembantu rumah tangga untuk membangun rumah. “Karena rumah
saya hanya terbuat dari bilik bambu, jadi sejak awal berjualan saya terus
mengumpulkan uang untuk membangun rumah impian dan membeli tanah, walaupun
sedikit demi sedikit, tapi saya tidak pernah menyerah untuk mewujudkan impian
saya, saya tidak menabung uang saya di bank ataupun kartu tabungan, tapi saya menabungkan uang saya itu
dengan cara membeli batu bata untuk bahan bangunan rumah di satu matrial dekat
rumah saya. walaupun sedikit demi sedikit, namun saya yakin dapat
mengumpulkannya hingga cukup untuk membangun," terangnya.
"Alhasil
pada 2006 saya berhasil mengumpulkan batu bata sebanyak dua ribu batang
di matrial itu. Sejak saat itu saya mulai memikirkan bagaimana untuk memulai
pembangunan. Namun, rejeki memang tidak pernah ke mana, ketika saya ingin mulai
membangun rumah saya, tiba-tiba saja lurah setempat mendatangi saya dan memberi
saya bantuan secara cuma-cuma. Saya masih ingat, pada waktu itu Beliau memberikan saya semen sebanyak
satu mobil pick up serta pasir hingga saya begitu tidak menyangka dengan semua
yang saya dapatkan waktu itu. Alhasil, kini saya dapat merasakan rumah baru saya
walaupun sangat sederhana,” tutup Heni saat diwawancara seputar kehidupannya.
Oleh: Faisal Abduh Habibullah
Oleh: Faisal Abduh Habibullah
Ini kisah nyata, hasil wawancaraku dengan seorang nenek penjual gorengan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri komentarmu di sini ^^