Pengertian Tajuk Rencana
atau Editorial dalam Media Massa
Tajuk rencana atau editorial adalah opini berisi pendapat dan sikap resmi suatu media sebagai institusi penerbitan terhadap persoalan aktual, fenomenal, atau kontroversial yang berkembang di masyarakat. Opini yang ditulis pihak redaksi diasumsikan mewakili redaksi sekaligus mencerminkan pendapat dan sikap resmi media yang bersangkutan.
Tajuk rencana mempunyai sifat:
1. Krusial dan ditulis secara berkala, tergantung dari jenis terbitan medianya. Misalnya media massa harian (daily), mingguan (weekly), dwi mingguan (biweekly) atau bulanan (monthly).
2. Isinya menyikapi situasi yang berkembang di masyarakat luas baik itu aspek sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, hukum, pemerintahan, atau olah raga bahkan entertainment, tergantung jenis liputan medianya.
3. Memiliki karakter atu konsistensi yang teratur kepada para pembacanya terkait sikap dari media massa yang menulis tajuk rencana.
4. Terkait erat dengan policy media atau kebijakan media yang bersangkutan. Karena setiap media mempunyai perbedaan iklim tumbuh dan berkembang dalam kepentingan yang beragam, yang menaungi media tersebut.
Karena merupakan suara lembaga, maka tajuk rencana tidak ditulis dengan mencantumkan nama penulisnya, seperti halnya menulis berita atau features. Idealnya, tajuk rencana adalah pekerjaan dan hasil dari pemikiran kolektif dari segenap awak media. Jadi, sebelum membuat tajuk rencana, terlebih dahulu diadakan rapat redaksi yang dihadiri oleh pemimpin redaksi, redaktur pelaksana serta segenap jajaran redaktur yang berkompeten untuk menentukan sikap bersama terhadap suatu permasalahan krusial yang sedang berkembang di masyarakat atau dalam kebijakan pemerintahan.
Setelah tercapai pokok- pokok pikiran, dituangkanlah dalam sikap yang kemudian dirangkum oleh awak redaksi yang telah ditunjuk dalam rapat. Dalam Koran harian, bisanya tajuk rencana ditulis secara bergantian, namun semangat isinya tetap mecerminkan suara bersama setiap jajaran redakturnya. Dalam proses ini reporter amat jarang dilibatkan, karena dinilai dari segi pengalaman serta tanggung jawabnya yang terbatas.
Karakter dan kepribadian pers terdapat sekaligus tercermin dalam tajuk rencana. Tajuk rencana juga mencerminkan dari golongan pers mana media tersebut berasal. Tajuk rencana pers papan atas (middle-high media) atau pers yang berkualitas misalnya memiliki ciri di antaranya:
1. hati-hati,
2. normatif,
3. cenderung konservatif,
4. Sedapat mungkin menghindari pendekatan kritis yang tajam, dan
5. pertimbangan aspek politis lebih besar dari aspek sosiologis.
Namun, tajuk rencana dari golongan pers papan menengah ke bawah (middle-low media) berlaku sebaliknya. Ciri-ciri tajuk rencana pers kalangan menengah adalah:
1. lebih berani,
2. atraktif,
3.progresif,
4. tidak canggung untuk memilih pendekatan kritis yang bersifat tajam dan “tembak langsung”, serta
5. lebih memilih pendekatan sosiologis daripada pendekatan politis.
Perbedaan yang cukup tajam ini karena perusahaan pers papan atas biasanya memiliki kepentingan yang jauh lebih kompleks daripada pers menengah ke bawah. Kepentingan yang sifatnya jauh lebih kompleks itulah yang mendorong pers papan atas untuk lebih akomodatif dan konservatif, baik itu dalam kebijakan pemberitaan, serta pernyataan pendapat dan sikap resmi dalam tajuk rencana yang dibuatnya. Itulah konsekuensi logis pers modern sebagai industri padat modal sekaligus padat karya. Kecenderungan perbedaan yang dimiliki oleh pers baik papan atas maupun papan bawah ini juga berlaku universal hampir di semua negara, yang memiliki latar belakang ideology serta kepentingan yang berbeda-beda.
Penulis adalah dosen pada Fakultas Ilmu Sosial, Ilmu Politik, dan Ilmu Komunikasi Universitas Djuanda Bogor
- Dari Blog Johnherf (penemu senam otak)
Pengantar dari
Johnherf
Kalau
saya membaca koran, sungguh menarik ketika saya mulai membaca tajuk rencana,
pojok, dan wawancara. Ketiga pokok pikiran yang menjadi kebijakan redaksi ini
kerap saya sambangi. Saya menikmati ulasannya. Tak bosan-bosan saya pikirkan
apa maksud penulis, lalu kenapa si pewawancara kurang cerdas saat mengajukan
pertanyaan dan berdialog dengan narasumber, dan terakhir yang membuat mata saya
mampir dan berhenti terpaku pada bacaan pojok. Pojok pada harian Kompas
bernama Mang Usil, pada harian Sinar Harapan bernama Vivere
Pericoloso, dan pada harian Republika bernama Rehat. Apa pun
namanya, saya selalu mampir pada ketiga rubrik yang tersedia di dalam koran
itu. Untuk itu, saya sampaikan poin-poin ketiga rubrik seperti apa yang saya
pahami selama ini.
Tajuk Rencana
Menu
wajib saya setiap pagi membaca tajuk rencana. Saya mulai dengan membaca judul.
Apakah judul menarik untuk saya singgahi, misalnya saya anggap cukup dengan
menggunakan tiga sampai dengan empat kata. Judul yang singkat, padat, dan mudah
saya pahami, pasti saya hampiri. Lalu saya menjelajahi tubuh tajuk untuk
mengetahui dan memahami isi pernyataannya. Apalagi isi pernyataan yang
berkaitan dengan kebijakan penulis tajuk. Adakalanya berita atau info terbaru,
terkini, termasa, dan rahasia sifatnya saya temukan pada tulisan tajuk. Inilah
keistimewaan tajuk rencana.
Istilah
lain tajuk rencana sering juga saya temukan, misalnya Notepad, Editorial,
Dari Redaksi, Redaksi Menulis, Beranda. Akhir-akhir ini, sungguh
menarik hati saya saat membaca tajuk rencana Media Indonesia.
Bahkan saya semakin tertarik manakala kebijakan mengulas tajuk mendapat
dukungan dari stasiun Metro TV yang berjuluk Bedah Editorial.
Kebetulan saya kenal beberapa nama pengulasnya. Makna bedah editorial merupakan
forum khusus pembaca untuk berinteraksi dengan penulis yang menanggapi tajuk
rencana.
Di
samping itu, manfaat lain yang saya pahami, tajuk rencana mampu mengungkap apa
yang menjadi unek-unek pembaca. Saya bisa membaca hak jawab dan membaca hak
tolak. Ini poin yang penting.
Pengertian
tajuk rencana yang saya pahami berkaitan dengan komentar atau induk karangan.
Tajuk rencana mengandung arti karangan pokok berisi masalah penting. Masalah
penting yang berkaitan dengan aktualitas. Oleh karena itu, tajuk rencana
merupakan pendapat redaksi atau seseorang yang berwewenang tentang masalah
menarik atau bermakna penting bagi pembaca sebagai hasil penilaian atau pandangan
dari pengelola koran terhadap masalah pokok.
Adapun model
penulisan tajuk rencana — karena saya kerap mampir sejak Petrus Kanisius
Ojong di harian Kompas aktif menulis dan dibukukan oleh Gramedia
berjuluk Kompasiana — sebagai berikut.
Pertama,
model lama meliputi pendahuluan, uraian, penutup. Kedua, model baru yang
meliputi rasional, analisis, argumentasi, simpulan/alternatif. Yang terakhir
ini penjelasannya sebagai berikut.
Berlandaskan
pada pemikiran atas tema pokok atau data dan fakta (rasional). Berlandaskan
pada uraian terinci tentang duduk perkara sebenarnya (analisis).
Berdasarkan
penafsiran atas data dan fakta yang mengarah pada simpulan (argumentasi). Berlandaskan
pada isi pernyataan dengan sikap tegas dan dinyatakan (simpulan tertutup).
Berlandaskan pada isi pernyataan yang menyerahkan simpulan bagi
pembaca (simpulan terbuka).
Jadi,
tajuk rencana merupakan pendapat atau opini redaksi atau orang yang mendapat
wewenang oleh redaksi koran. Pendapat ini berkaitan tentang masalah menarik
atau berarti penting bagi pembaca, misalnya baru, aneh, luar
biasa, pertentangan. Tentang masalah menarik atau berarti penting bagi
pembaca juga berkaitan dengan rasa aman, rasa sehat, rasa cinta, kematian,
aktivitas produktif, profesi atau pekerjaan. Dengan demikian, hasil penilaian
atau pandangan redaksi disebut kebijakan redaksional.
Pojok
Rubrik
lain yang menarik perhatian saya adalah pojok. Pojok berawal dari kenyataan
hidup sehari-hari. Struktur pojok meliputi baris pertama yang berisi kalimat
topik/pokok pikiran dan baris kedua yang berisi kalimat tanggapan atau
komentar. Tentang komentar ini terdiri atas paralel suportif (mendukung
sejalan) dan paralel kontradiktif (tidak sejalan).
Wawancara
Rubrik
ketiga yang saya hampiri untuk saya nikmati berkaitan dengan wawancara. Saya
selalu menikmati hasil wawancara yang berhasil mengungkap profil tokoh
tertentu. Apalagi profil tokoh ini menjadi hidup saat wawancara karena si
pewawancara menggunakan susunan pertanyaan dengan kalimat pendek dan
cermat.
Penutup
Setiap
koran memiliki kepercayaan yang sangat tinggi atas pencapaian sasaran pembaca.
Sasaran ini berkorelasi dengan jumlah tiras yang berhasil terlampaui. Jika
jumlah tiras koran melampaui target, maka sasaran pembaca yang ingin diraih
oleh penerbit koran berhasil memenuhi sasaran. Oleh karena itu, saya memberi
perhatian pada tajuk rencana, pojok, dan wawancara. Ketiga rubrik ini merupakan
fondasi bagi pengelola koran untuk menyampaikan isi pernyataannya.***
http://johnherf.wordpress.com/2007/05/29/menikmati-tajuk-rencana-pojok-wawancara/#comment-5715
C. Kartun dan Karikatur
Kartun
(cartoon dalam Bahasa Inggris)
berasal dari bahasa Italia, cartone,
yang berarti kertas. Kartun pada mulanya adalah penamaan bagi sketsa pada
kertas alot (stout paper) sebagai
rancangan atau desain untuk lukisan kanvas atau lukisan dinding, gambar
arsitektur, motif permadani, atau untuk gambar pada mozaik dan kaca. Namun
seiring perkembangan waktu, pengertian kartun pada saat ini tidak sekadar
sebagai sebuah gambar rancangan, tetapi kemudian berkembang menjadi gambar yang
bersifat dan bertujuan humor dan satir.
Sebagai
salah satu bentuk komunikasi grafis, kartun merupakan suatu gambar
interpretatif yang menggunakan simbol-simbol untuk menyampaikan suatu pesan
secara cepat dan ringkas, atau sesuatu sikap terhadap orang, situasi, atau
kejadian-kejadian tertentu. Kartun biasanya hanya mengungkap esensi pesan yang
harus disampaikan dan menuangkannya ke dalam gambar sederhana, tanpa detail,
dengan menggunakan simbol-simbol, serta karakter yang mudah dikenal dan
dimengerti secara cepat.
Kartun
mempunyai sisi menarik yang memiliki keunggulan lebih dibandingkan dengan media
komunikasi yang lain. Ketertarikan seseorang terhadap kartun menurut penelitian
Priyanto Sunarto yang berjudul Metafora Visual Kartun Editorial pada Surat
Kabar Jakarta 1950-1957 disebabkan dalam mengungkapkan komentar, kartun
menampilkan masalah tidak secara harfiah tetapi melalui metafora agar terungkap
makna yang tersirat di balik peristiwa. Metafora merupakan pengalihan sebuah
simbol (topik) ke sistem simbol lain (kendaraan). Penggabungan dua makna
kata/situasi menimbulkan konflik antara persamaan dan perbedaan, hingga terjadi
perluasan makna menjadi makna baru.
Kartun
bisa lahir dan selalu muncul dari peristiwa-peristiwa politik yang paling
menentukan nasib suatu bangsa. Namun, justru ia melukiskannya dengan sangat
ringan seraya bergurau dan memperoloknya. Ketertarikan seseorang terhadap
kartun dibandingkan dengan media yang lain juga dikarenakan simbol-simbol
tertentu dalam kartun yang menyebabkan kelucuan, selain itu isi kartun di media
massa menceriterakan kehidupan sehari-hari.
Jenis Kartun
(1) Gag cartoon atau kartun murni,
(1) Gag cartoon atau kartun murni,
merupakan
gambar kartun yang dimaksudkan hanya sekadar sebagai gambar lucu atau olok-olok
tanpa bermaksud mengulas suatu permasalahan atau peristiwa aktual. Kartun murni
biasanya tampil menghiasi halaman-halaman khusus humor yang terdapat di surat
kabar atau terbitan lainnya. Satu jaringan pembuat kartun murni yang terkenal
adalah Kokkang yang karyanya banyak dimuat di berbagai terbitan.
(2)
Kartun editorial,
merupakan
kolom gambar sindiran di surat kabar yang mengomentari berita dan isu yang
sedang ramai dibahas di masyarakat. Sebagai editorial visual, kartun tersebut
mencerminkan kebijakan dan garis politik media yang memuatnya, sekaligus
mencerminkan pula budaya komunikasi masyarakat pada masanya. Dewa Putu Wijana
dalam disertasinya yang mengulas masalah aspek pragmatik dalam kartun,
menyatakan bahwa kartun editorial merupakan visualisasi tajuk rencana surat
kabar atau majalah yang membincangkan masalah politik atau peristiwa aktual.
Oleh karena sifatnya inilah, kartun editorial sering disebut dengan kartun
politik. Contoh kartun editoial yang terkenal di Indonesia adalah Oom Pasikom
di harian Kompas dan Keong di harian Sinar Harapan. Beberapa kartunis terkenal
yang intens dalam pembuatan kartun editorial antara lain Sibarani, G.M.
Sudarta, Pramono, Johny Hidanat, Jaya Suprana, serta Dwi Koendoro.
(3)
Komik,
merupakan
perpaduan antara seni gambar dan seni sastra. Komik terbentuk dari rangkaian
gambar yang keseluruhannya merupakan rentetan satu cerita yang pada tiap gambar
terdapat balon ucapan sebagai narasi cerita dengan tokoh/karakter yang mudah
dikenal. Contoh komik kartun yang populer pada saat ini adalah komik buatan
Jepang. Komik Jepang tidak hanya menampilkan cerita anak, tetapi juga drama
percintaan yang romantis. Komik buatan Jepang saat ini tengah merajai industri
perkomikan di Indonesia. Mulai dari cerita yang lucu seperi Doraemon, Crayon
Shinchan, Kobo Chan, cerita laga, seperti Kungfu Boy, Dragon Ball, sampai
cerita yang berbau romantis. Namun demikian, Indonesia juga memiliki
komik-komik buatan dalam negeri yang tidak kalah kualitasnya, baik dari segi
grafis maupun cerita. Beberapa dekade lalu, komik Panji Tengkorak karya Hans
Jaladara, ataupun Bende Mataram, Gundala, sampai cerita Mahabarata pernah
menghiasi dunia perkomikan di Indonesia. Pada saat ini perkembangan komik lokal
cenderung tidak sehebat komik buatan Jepang. Komik-komik lokal tersebut masih
tetap bertahan pada terbitan secara bersambung di koran-koran atau majalah.
(4)
Karikatur,
merupakan
perkembangan kartun politik, yaitu gambar lucu yang menyimpang dan bersifat
satir atau menyindir, baik terhadap orang atau tindakannya. Ciri khas karikatur
adalah deformasi atau distorsi wajah dan bentuk fisik, dan biasanya manusia
adalah yang dijadikan sasaran agresi. Toety Heraty Noerhadi dalam tulisannya
berjudul Kartun dan Karikatur sebagai Wahana Kritik Sosial menyatakan bahwa
karikatur merupakan gambaran yang diadaptasi dari realitas, tokoh-tokoh yang
digambarkan adalah tokoh-tokoh bukan fiktif yang ditiru lewat pemiuhan
(distortion) untuk memberikan persepsi tertentu terhadap pembaca. Ia
menambahkan bahwa perbedaan kartun dan karikatur terletak pada hal ini, yaitu
tokoh yang digambarkan antara kartun dan karikatur berbeda. Apabila tokoh
kartun bersifat fiktif, maka tokoh dalam karikatur bersifat tiruan dari tokoh
nyata yang telah melalui tahap pemiuhan. Dengan demikian akan terwujud gambar
yang lucu tetapi juga terkandung pesan yang penting, sehingga pesan yang hendak
disampaikan dalam kartun kepada masyarakat mudah untuk diterima.
Sedangkan,
tujuan dibuatnya kartun ialah:
(1) Kartun yang semata-mata sebagai hiburan antara lain gag cartoon dan komik
(2) Kartun yang bertujuan menyampaikan pesan kepada para penikmatnya, baik pesan politik, sosial, ataupun pendidikan. Misalnya adalah kartun yang ada di surat kabar, khususnya kartun editorial, karikatur, dan beberapa komik strip. Kartun yang ada di surat kabar atau terbitan lainnya merupakan salah satu bentuk kartun yang memiliki karakteristik sebagai media yang tidak hanya menghibur, tetapi juga cerdas dan aktual.
(1) Kartun yang semata-mata sebagai hiburan antara lain gag cartoon dan komik
(2) Kartun yang bertujuan menyampaikan pesan kepada para penikmatnya, baik pesan politik, sosial, ataupun pendidikan. Misalnya adalah kartun yang ada di surat kabar, khususnya kartun editorial, karikatur, dan beberapa komik strip. Kartun yang ada di surat kabar atau terbitan lainnya merupakan salah satu bentuk kartun yang memiliki karakteristik sebagai media yang tidak hanya menghibur, tetapi juga cerdas dan aktual.
Keabadian
dari kartun disebabkan kartun senantiasa tampil sebagai sebuah media yang
bersahaja. Ia bisa dibaca oleh siapa saja, dari segala umur dan kalangan, dan
yang paling penting adalah sifatnya yang menarik dan menghibur.
Berikut
ini salah satu contoh kartun dalam dunia jurnalistik.
Sebuah dialog intens dan kritik
tajam yang tetap etis - humanis - humoris"
KARIKATUR atau
kartun tidaklah sketsa yang dijelek-jelekkan dan bukan pula sekedar coretan
yang dilebih-lebihkan. Karikatur bukanlah pula hanya sketsa yang karikatural, tetapi
teks yang ingin menyampaikan hal yang aktual.
Menurut Prof.
Imam Buchori Zainuddin, salah seorang dosen FSRD ITB, kartun adalah gambar,
yang melukiskan adegan tentang perilaku manusia dengan berbagai kiprahnya dalam
kehidupan sosial, baik diungkapkan secara simbol atau representasional dengan
cara-cara humor, atau cara-cara yang satiris.
Bahkan Erich Kaestner, seorang sastrawan Jerman termasyur, menilai kartun memiliki daya ekspresi yang luar biasa. Sebagai sarana non-aksara, Kaestner menganggap kartun memiliki unsur cerpen.
Kartun adalah pula sebuah bentuk wacana atau berita pikiran tentang "sesuatu". Dengan simbol-simbol yang bercorak sinekdote - memperlihatkan sebagian untuk mengatakan keseluruhan - dan tentu saja, karikatural berita - pikiran yang disampaikan tak lain daripada sebuah ajakan berdialog yang intens dengan kekuasaan, masyarakat umum atau dengan siapa saja.
Simbol-simbol karikatural yang dengan kreatif menonjolkan unsur-unsur yang lucu dan di luar kebiasaan itu bukan saja memberikan kebebasan bagi sang kartunis untuk menyampaikan berita - pikirannya tetapi juga secara cerdik mengalihkan daya tusuk dari dialog yang intens tersebut. Dengan begini, maka yang getir dan pahit dapat disampaikan sebagai keanehan yang lucu saja.
Jadi kartun haruslah dipahami sebagai media yang dipakai oleh kartunis untuk menangkap dan menafsirkan berbagai keprihatinan yang hidup dalam masyarakat.
Menurut sejarah, "Cartoon" lahir sejak abad pertengahan seiring dengan semangat humanisme yang meletakkan manusia sebagai objek dan subjek untuk mengenal berbagai hakekat kehidupan.
Karikatur sendiri diketahui berasal dari bahasa Itali "caricare", yang berarti memuat atau menambah muatan secara berlebihan.
Dengan kata lain, karikatur adalah reformasi lebih atas objek yang terkenal dengan cara mempercantik dari ciri yang paling menonjol atas objek tersebut. Dengan demikian, karikatur yang baik sudah bisa dipastikan mempunyai kadar humor, estetika dan yang paling penting sarat nilai kritik.
Dan kritik karikatur sebenarnya hanya usaha penyampaikan masalah aktual ke permukaan, sehingga muncul dialog antara yang dikritik dan yang mengkritik, serta dialog antara masyarakat itu sendiri, dengan harapan akan adanya perubahan.
Pahit tapi positif
Dewasa ini kartun dan karikatur telah merambah jauh, selain untuk kritik sosial, juga untuk media pendidikan anak dan berbagai program sosialisasi, untuk maksud promosi dan komunikasi.
Tak pelak lagi, kartun dan karikatur pun akhirnya memasuki persoalan susila atau tidak susila yang merupakan sukma utama dari kesenian pada umumnya. Melalui kartun kita dapat menyampaikan kritik yang langsung sampai pada sasaran, tapi tidak menyinggung objeknya (manusianya), yang seringkali malah tertawa.
Seorang karikaturis ataupun kartunis, tidak perlu berbenturan langsung dengan suatu kekuasaan. Tetapi bagaimana kecerdikan mereka untuk mengakali suatu kekuasaan takluk oleh sebuah kerendahan hati. Atau kata Jaya Suprana "Positioning", bagaimana seni menempatkan diri. Kendatipun dengan nada kritik yang benar-benar pahit, namun secara keseluruhan karyanya tetap positif. Kritik dan ejekan yang dilemparkan dilandasi oleh sikap optimis dan hasrat reformis.
Fenomena ini akan berlanjut terus, lebih-lebih dalam alam keterbukaan politik dan globalisasi informasi ini. Disini, para kartunis dan karikaturis dituntut memiliki kreativitas, kredibilitas (diantaranya kemampuan teknik drawing) dan cakrawala berpikir yang luas. Dan tetap setia mempertahankan keunikannya sebagai humanis - humoris.
Kartun dalam pers Indonesia
Di Indonesia, kartun muncul sekitar tahun 1930-an. Dipelopori oleh Surono, Karyono, dan Norman Camil. Dekade 50-an, Kartun karya Abdulrachim (Al) dan Muhammad Budino (Mobo) muncul di Majalah Terang Bulan. Pada tahun itu pula, Indri Sudono dan Sunarso muncul di Penyebar Semangat.
Booming pertama kartun terjadi di medio 60-an, saat nama-nama seperti Arwah Setiawan, Pramono, Jhonny Hidayat, GM Sudarta, T Sutanto menghiasai berbagai media. Booming kedua terjadi di penghujung dekade 80-an, saat para kartunis tumbuh bak jamur di musim hujan. Wadah para kartunis, menyebar di berbagai kota. Sebut saja diantaranya, SECAC (Semarang Cartoon Club), WAK SEMAR (Wadah Kartunis Semarang), PAKYO (Persatuan Kartunis Yogya), PAKARSO (Persatuan Kartunis Solo), KOKKANG (Kelompok Kartunis Kaliwungu), dan KARUNG (Kerabat Kartunis Bandung).
Bahkan, terbentuk sebuah wadah besar para kartunis Indonesia, yang bernama PAKARTI (Persatuan Kartunis Indonesia).
Wadah-wadah itu, berupaya mengembangkan sekaligus menghilangkan citra bahwa karikatur dan kartun sebagai bentuk ungkapan senirupa, seringkali hanya dianggap sebagai aktivitas marginal dari seniman grafis, karena karyanya banyak yang tidak bernilai secara ekonomis.
Belum lagi, kini para pengelola pers tidak bisa menyangkal lagi dan sangat mengerti arti penting kehadiran kartun dalam media massa. Kartun telah menyatu dengan pers. Mengingat bahwa kartun dapat sebagai penyejuk bagi pembaca setelah membaca artikel-artikel berat dengan sederetan huruf yang cukup melelahkan mata dan pikiran.
Ia dibutuhkan sebagai penangkal kepenatan, untuk rekreasi dan hiburan ringan. Malah, jika dipandang dari sudut lain, penyampaian berita disertai penyajian gambar akan mudah diingat, apa lagi dalam bentuk kartun dan karikatur. Dapat dikatakan kartun dan karikatur berkembang bersama pers.
Keberadaan kartun dan karikatur dalam pers kini semakin mantap. Orang kadung jatuh cinta terhadapnya. Kehadirannya dalam penerbitan pers sudah menjadi barang yang selalu dinanti. Hampir setiap penerbitan menyediakan rubrik ini. Karena disadari oleh para penerbit, rubrik tersebut punya daya jual terhadap produk dagangannya itu.
Terakhir, sebagai kritik sosial, sudah seharusnya kartun dan karikatur dalam pers di Indonesia selalu mengingatkan hal-hal yang mungkin terlupakan atau terabaikan dalam kegelisahan terhadap perubahan politik negaranya. Kartunis dan karikaturis yang membawa pesan dan kritik itu, diharapkan dapat berperan dengan hati nuraninya. Bukannya malah memperkeruh suasana!***
Bahkan Erich Kaestner, seorang sastrawan Jerman termasyur, menilai kartun memiliki daya ekspresi yang luar biasa. Sebagai sarana non-aksara, Kaestner menganggap kartun memiliki unsur cerpen.
Kartun adalah pula sebuah bentuk wacana atau berita pikiran tentang "sesuatu". Dengan simbol-simbol yang bercorak sinekdote - memperlihatkan sebagian untuk mengatakan keseluruhan - dan tentu saja, karikatural berita - pikiran yang disampaikan tak lain daripada sebuah ajakan berdialog yang intens dengan kekuasaan, masyarakat umum atau dengan siapa saja.
Simbol-simbol karikatural yang dengan kreatif menonjolkan unsur-unsur yang lucu dan di luar kebiasaan itu bukan saja memberikan kebebasan bagi sang kartunis untuk menyampaikan berita - pikirannya tetapi juga secara cerdik mengalihkan daya tusuk dari dialog yang intens tersebut. Dengan begini, maka yang getir dan pahit dapat disampaikan sebagai keanehan yang lucu saja.
Jadi kartun haruslah dipahami sebagai media yang dipakai oleh kartunis untuk menangkap dan menafsirkan berbagai keprihatinan yang hidup dalam masyarakat.
Menurut sejarah, "Cartoon" lahir sejak abad pertengahan seiring dengan semangat humanisme yang meletakkan manusia sebagai objek dan subjek untuk mengenal berbagai hakekat kehidupan.
Karikatur sendiri diketahui berasal dari bahasa Itali "caricare", yang berarti memuat atau menambah muatan secara berlebihan.
Dengan kata lain, karikatur adalah reformasi lebih atas objek yang terkenal dengan cara mempercantik dari ciri yang paling menonjol atas objek tersebut. Dengan demikian, karikatur yang baik sudah bisa dipastikan mempunyai kadar humor, estetika dan yang paling penting sarat nilai kritik.
Dan kritik karikatur sebenarnya hanya usaha penyampaikan masalah aktual ke permukaan, sehingga muncul dialog antara yang dikritik dan yang mengkritik, serta dialog antara masyarakat itu sendiri, dengan harapan akan adanya perubahan.
Pahit tapi positif
Dewasa ini kartun dan karikatur telah merambah jauh, selain untuk kritik sosial, juga untuk media pendidikan anak dan berbagai program sosialisasi, untuk maksud promosi dan komunikasi.
Tak pelak lagi, kartun dan karikatur pun akhirnya memasuki persoalan susila atau tidak susila yang merupakan sukma utama dari kesenian pada umumnya. Melalui kartun kita dapat menyampaikan kritik yang langsung sampai pada sasaran, tapi tidak menyinggung objeknya (manusianya), yang seringkali malah tertawa.
Seorang karikaturis ataupun kartunis, tidak perlu berbenturan langsung dengan suatu kekuasaan. Tetapi bagaimana kecerdikan mereka untuk mengakali suatu kekuasaan takluk oleh sebuah kerendahan hati. Atau kata Jaya Suprana "Positioning", bagaimana seni menempatkan diri. Kendatipun dengan nada kritik yang benar-benar pahit, namun secara keseluruhan karyanya tetap positif. Kritik dan ejekan yang dilemparkan dilandasi oleh sikap optimis dan hasrat reformis.
Fenomena ini akan berlanjut terus, lebih-lebih dalam alam keterbukaan politik dan globalisasi informasi ini. Disini, para kartunis dan karikaturis dituntut memiliki kreativitas, kredibilitas (diantaranya kemampuan teknik drawing) dan cakrawala berpikir yang luas. Dan tetap setia mempertahankan keunikannya sebagai humanis - humoris.
Kartun dalam pers Indonesia
Di Indonesia, kartun muncul sekitar tahun 1930-an. Dipelopori oleh Surono, Karyono, dan Norman Camil. Dekade 50-an, Kartun karya Abdulrachim (Al) dan Muhammad Budino (Mobo) muncul di Majalah Terang Bulan. Pada tahun itu pula, Indri Sudono dan Sunarso muncul di Penyebar Semangat.
Booming pertama kartun terjadi di medio 60-an, saat nama-nama seperti Arwah Setiawan, Pramono, Jhonny Hidayat, GM Sudarta, T Sutanto menghiasai berbagai media. Booming kedua terjadi di penghujung dekade 80-an, saat para kartunis tumbuh bak jamur di musim hujan. Wadah para kartunis, menyebar di berbagai kota. Sebut saja diantaranya, SECAC (Semarang Cartoon Club), WAK SEMAR (Wadah Kartunis Semarang), PAKYO (Persatuan Kartunis Yogya), PAKARSO (Persatuan Kartunis Solo), KOKKANG (Kelompok Kartunis Kaliwungu), dan KARUNG (Kerabat Kartunis Bandung).
Bahkan, terbentuk sebuah wadah besar para kartunis Indonesia, yang bernama PAKARTI (Persatuan Kartunis Indonesia).
Wadah-wadah itu, berupaya mengembangkan sekaligus menghilangkan citra bahwa karikatur dan kartun sebagai bentuk ungkapan senirupa, seringkali hanya dianggap sebagai aktivitas marginal dari seniman grafis, karena karyanya banyak yang tidak bernilai secara ekonomis.
Belum lagi, kini para pengelola pers tidak bisa menyangkal lagi dan sangat mengerti arti penting kehadiran kartun dalam media massa. Kartun telah menyatu dengan pers. Mengingat bahwa kartun dapat sebagai penyejuk bagi pembaca setelah membaca artikel-artikel berat dengan sederetan huruf yang cukup melelahkan mata dan pikiran.
Ia dibutuhkan sebagai penangkal kepenatan, untuk rekreasi dan hiburan ringan. Malah, jika dipandang dari sudut lain, penyampaian berita disertai penyajian gambar akan mudah diingat, apa lagi dalam bentuk kartun dan karikatur. Dapat dikatakan kartun dan karikatur berkembang bersama pers.
Keberadaan kartun dan karikatur dalam pers kini semakin mantap. Orang kadung jatuh cinta terhadapnya. Kehadirannya dalam penerbitan pers sudah menjadi barang yang selalu dinanti. Hampir setiap penerbitan menyediakan rubrik ini. Karena disadari oleh para penerbit, rubrik tersebut punya daya jual terhadap produk dagangannya itu.
Terakhir, sebagai kritik sosial, sudah seharusnya kartun dan karikatur dalam pers di Indonesia selalu mengingatkan hal-hal yang mungkin terlupakan atau terabaikan dalam kegelisahan terhadap perubahan politik negaranya. Kartunis dan karikaturis yang membawa pesan dan kritik itu, diharapkan dapat berperan dengan hati nuraninya. Bukannya malah memperkeruh suasana!***
Ket: Tulisan saya ini pernah dimuat
di HU Pikiran Rakyat, Sabtu 9 Juli 2005 dengan judul "Kartun dan
Karikatur: Homo Humanis dalam Pers Kita"
http://nadaahmad.multiply.com/journal/item/3
terima kasih pengertiannya mengenai editorial,..hehhe
BalasHapusbermanfaat sekali..