Tokoh Hukum Internasional
- Hugo Grotius mendasarkan sistem hukum Internasional atas berlakunya hukum alam. Hukum alam telah dilepaskan dari pengaruh keagamaan dan kegerejaan. Banyak didasarkan atas praktek negara dan perjanjian negara sebagai sumber Hukum Internasional disamping hukum alam yang diilhami oleh akal manusia, sehingga disebut Bapak Hukum Internasional.
- Fransisco Vittoria (biarawan Dominikan – berkebangsaan Spanyol Abad XIV menulis buku Relectio de Indis mengenai hubungan Spanyol dan Portugis dengan orang Indian di AS. Bahwa negara dalam tingkah lakunya tidak bisa bertindak sekehendak hatinya. Maka hukum bangsa-bangsa ia namakan ius intergentes.
- Fransisco Suarez (Yesuit) menulis De legibius ae Deo legislatore (on laws and God as legislator) mengemukakan adanya suatu hukum atau kaedah obyektif yang harus dituruti oleh negara-negara dalam hubungan antara mereka.
- Balthazer Ayala (1548-1584) dan Alberico Gentilis mendasarkan ajaran mereka atas falsafah keagamaan atau tidak ada pemisahan antara hukum, etika dan teologi.
Hukum Internasional dan Hukum Dunia
Hukum Internasional didasarkan atas pikiran adanya masyarakat internasional yang terdiri atas sejumlah negara yang berdaulat dan merdeka dalam arti masing-masing berdiri sendiri yang satu tidak dibawah kekuasaan lain sehingga merupakan suatu tertib hukum koordinasi antara anggota masyarakat internasional yang sederajat.Hukum Dunia berpangkal pada dasar pikiran lain. Dipengaruhi analogi dengan Hukum Tata Negara (constitusional law), hukum dunia merupakan semacam negara (federasi) dunia yang meliputi semua negara di dunia ini. Negara dunia secara hirarki berdiri di atas negara-negara nasional. Tertib hukum dunia menurut konsep ini merupakan suatu tertib hukum subordinasi.
Sejarah dan Perkembangannya
Hukum Internasional modern sebagai suatu sistem hukum yang mengatur hubungan antara negara-negara, lahir dengan kelahiran masyarakat Interansional yang didasarkan atas negara-negara nasional. Sebagai titik saat lahirnya negara-negara nasional yang modern biasanya diambil saat ditandatanganinya Perjanjian Perdamaian Westphalia yang mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun di Eropa.Zaman dahulu kala sudah terdapat ketentuan yang mengatur, hubungan antara raja-raja atau bangsa-bangsa:
Dalam lingkungan kebudayaan India Kuno telah terdapat kaedah dan lembaga hukum yang mengatur hubungan antar kasta, suku-suku bangsa dan raja-raja yang diatur oleh adat kebiasaan. Menurut Bannerjce, adat kebiasaan yang mengatur hubungan antara raja-raja dinamakan Desa Dharma. Pujangga yang terkenal pada saat itu Kautilya atau Chanakya.Penulis buku Artha Sastra Gautamasutra salah satu karya abad VI SM di bidang hukum.
HAL BARU
Untuk memahami atau mengerti dengan sebaik-baiknya prinsip-prinsip
pokok Hukum Internasional, maka pertama-tama harus diketahui apa yang menjadi definisi atau batasan dari
Hukum Internasional itu sendiri. Definisi atau batasannya bukan sesuatu yang
bersifat statis, melainkan bersifat dinamis sebab batasan atau pengertiannya
senantiasa harus disesuaikan dengan dinamika dan kebutuhan masyarakat
internasional tempat di mana hukum internasional itu tumbuh, berkembang dan
berlaku. J.G. Starke dalam bukunya Stark”s International Law
mengemukakan definisi Hukum Internasional (International Law) sebagai berikut :
Hukum Internasional adalah sekumpulan hukum yang untuk sebagian besar terdiri dari azas-azas dan peraturan-peraturan tingkah
laku di mana negara-negara itu sendiri merasa terikat dan menghormatinya, dan
dengan demikian mereka (negara-negara) itu juga harus
menghormati atau mematuhinya dalam hubungannya satu sama lain,
dan yang juga mencakup : a) peraturan-peraturan hukum yang berkenaan dengan
berfungsinya lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi internasional, hubungan
antara organisasi internasional dengan organisasi
internasional lainnya, hubungan antara organisasi internasional dengan negara serta hubungan antara organisasi internasional dengan individu ; b) peraturan-peraturan hukum tertentu yang
berkenaan dengan individu-individu dan subyek-subyek hukum bukan negara (non
state entities) sejauh hak-hak dan kewajiban individu dan subyek hukum bukan
negara itu bersangkut paut dengan persoalam masyarakat internasional. Definisi
ini melampaui definisi tradisional tentang hukum internasional sebagai sebuah
system yang semata-mata terdiri dari aturan-aturan yang mengatur hubungan
antarnegara semata-mata. Batasan yang bersifat tradisional seperti itu yang
hanya dibatasi pada tingkah laku negara-negara dalam hubungannya satu sama lain
dapat ditemukan dalam kebanyakan karya tulisan hukum internasional lama yang
digunakan sebagai standar, tetapi dilihat dari segi perkembangan hukum
internasional selama lima puluh tahun terakhir, definisi tradisional tersebut
tidak memberikan gambaran komprehensif mengenai semua aturan yang kini diakui
menjadi bagian dari hukum internasional itu sendiri. Perkembangan Hukum
Internasional yang terjadi selama beberapa dasawarsa terutama menyangkut : a)
pembentukan sejumlah besar lembaga-lembaga atau organisasi internasional yang
bersifat permanent seperti misalnya Perserikatan Bangsa-Bangsa serta Badan-Badan
Khusus PBB (Specialized Agencies) yang dianggap memiliki international legal
personality dan dianggap dapat mengadakan hubungan satu sama lain maupun
mengadakan hubungan dengan negara; b) adanya gerakan yang disponsori atau
diprakarsai oleh PBB dan Dewan Eropa (Council of Europe) guna melindungi
hak-hak azasi manusia serta kebebasan fundamental dari individu, terbentuknya
aturan-aturan atau kaidah-kaidah guna menghukum orang-orang yang melakukan
kejahatan internasional seperti genosida (genocide) atau kejahatan pemusnahan
ras (lihat Genocide Convention 1948 yang berlaku pada tahun 1951) serta
dibebankannya kewajiban pada individu berdasarkan keputusan dari Tribunal
Militer Internasional di Nuremberg atau disebut pula Peradilan Nuremberg tahun
1946 yang menetapkan kejahatan terhadap perdamaian dunia (crimes against
peace), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) serta
konspirasi untuk melakukan kejahatan-kejahatan seperti itu sebagai kejahatan
internasional ; c) Pembentukan Mahkamah Kriminal Internasional (International Criminal Court atau disingkat ICC) yang
bekedudukan di Den Haag berdasarkan Statuta Roma yang ditandatangani pada tahun
1993 dan kemudian telah berlaku sejak tahun 2002. Berdasarkan Statuta Roma,
siapapun yang terlibat dalam kejahatan terhadap perdamaian dunia, kejahatan
perang, kejahatan kemanusiaan, kejahatan genosida ataupun berbagai kejahatan
kemanusiaan lainnya seperti kejahatan terorisme dapat diajukan ke depan ICC
tanpa melihat apakan mereka adalah Kepala Negara, Kepala Pemerintahan, pejabat
tinggi negara ataupun pejabat militer, tetapi harus diingat bahwa yurisdiksi
ICC ini baru bisa diakses setelah semua upaya hukum setempat tidak berhasil
dalam mewujudkan keadilan terhadap keluarga korban. d) Terbentuknya mahkamah kriminal
internasional yang bersifat adhoc, seperti misalnya apa yang dinamakan The
International Criminal Tribunal for the Former Yugoslav (ICTY) dan The
International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) yang bertujuan untuk
mengadili individu-individu yang terlibat dalam berbagai kejahatan kemanusiaan
tanpa menghiraukan apakah mereka kepala negara, kepala pemerintahan, pejabat
tinggi negara atau pemerintahan baik dari kalangan sipil maupun militer. Namun
pembentukannya tidak didasarkan pada Statuta Roma. melainkan pada Resolusi
Dewan Keamanan PBB pada tahun 1993 dan 1994. e) Pembentukan Uni Eropa (European
Union) berdasarkan perjanjian internasional yang disebut Perjanjian Mastricht
pada tahun 1990 an yang merupakan kesepakatan dari sebagian besar dari negara-negara
di Benua Eropa untuk membentuk dan menerapkan Sistem Pasar Tunggal dan
menggunakan Mata Uang Euro sebagai Mata Uang Tunggal; e) Perhimpunan
Negara-Negara Asia Tenggara yang terbentuk melalui Deklarasi ASEAN tahun 1967
dengan tujuan untuk meningkatkan kerjasama dalam bidang ekonomi, sosial dan
budaya dan bukan dalam bidang politik dan militer, yang dewasa ini telah
berkembang sedemikian rupa sehingga selain jumlah anggotanya telah bertambah
dari 5 menjadi 10, juga negara-negara anggotanya dewasa ini telah berhasil
dalam menyusun dan merumuskan apa yang disebut Piagam ASEAN. Piagam ini akan
terdiri dari Pembukaan dan 12 pasal. Pasal 1 mengatur tentang Tujuan dan
Prinsip-prinsip dari Organisasi ASEAN. Pasal 2 mengenai Status Hukum (Legal
Personality) dari Organisasi ASEAN. Pasal 3 mengenai Keanggotaan (Membership).
Pasal 4 mengenai Organ-Organ (Organs). Pasal 5 mengenai berbagai kekebalan dan
hak-hak istimewa yang melekat pada Organisasi ASEAN (Immunities and
Privileges). Pasal 6 mengenai Pengambilan Keputusan (Decision Making) oleh
Organisasi ini. Pasal 7 mengenai Penyelesaian Sengketa (Dispute Settelement).
Pasal 8 mengenai Anggaran dan Keuangan (Budget and Finance).
Pasal 9 mengenai Administrasi dan Prosedur (Administration and Procedure).
Pasal 10 mengenai Identitas dan Simbol (Identity and Symbol). Pasal 11 mengenai
Hubungan Eksternal (External Relations). Pasal 12 mengenai Ketentuan Umum dan
Ketentuan Penutup (General and Final Provisions). ASEAN mempunyai tekad kuat
untuk memiliki sebuah landasan hukum yang kuat bagi organisasi 10 negara di
wilayah Asia Tenggara. Betapapun alotnya pembahasan piagam tersebut, para
Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan sudah menetapkan Piagam ASEAN itu sudah
harus ditandatangani pada KTT ASEAN tahun 2007 di Singapura atau pada akhir
tahun 2007 ini. Piagam ASEAN ini akan memberikan status hukum yang jelas bagi
ASEAN sehingga dapat mentransformasikan ASEAN menjadi sebuah organisasi yang
berlandaskan aturan. Piagam ASEAN juga akan memberikan kerangka hukum untuk
mencapai atau mewujudkan KomunitasASEAN, sekaligus menegaskan tujuan-tujuan dan
prinsip-prinsip ASEAN. Piagam ASEAN ini diharapkan pula dapat menjadi pedoman
dalam menyelesaikan pesengketaan yang mungkin terjadi di antara para anggotanya
di kemudian hari. Di samping itu yang terpenting adalah membuat Organisasi
ASEAN memiliki kemampuan yang lebih besar untuk menghadapi tantangan-tantangan
tradisional maupun nontradisional. Demikian antara lain lembaga-lembaga dan
organisasi-organisasi internasional yang terbentuk memberikan kontribusi yang
sangat besar dalam proses pembentukan dan pengembangan hukum internasional masa
kini sebab semuanya ini memiliki kapasitas atau kemampuan untuk berinteraksi
dan mengadakan hubungan baik dengan sesama organisasi atau lembaga internasional
maupun dengan negara serta individu. Selanjutnya Mochtar Kusumaatmadja dalam
bukunya Pengantar Hukum Internasional menyatakan Hukum Internasional adalah
keseluruhan kaidah-kaidah dan azas-azas hukum yang mengatur hubungan atau
persoalan yang melintasi batas-batas negara-negara (hubungan internasional)
antara negara dengan negara, antara negara dengan subyek hukum lain yang bukan
negara, ataupun antara subyek hukum lain bukan negara satu sama lainnya.
Definisi Hukum Internasional sebagaimana dipaparkan di atas pada hakekatnya menunjukkan pengertian yang sama (walaupun dengan rumusan yang berbeda) karena definisi tersebut secara jelas memberikan gambaran mengenai subyek-subyek hukum internasional atau pelaku-pelaku atau aktor-aktor dalam masyarakat internasional. Subyek-subyek hukum ini tidak hanya terbatas pada negara saja kendatipun negara adalah merupakan subyek utama dalam hukum internasional, namun negara bukan satu-satunya sebagai subyek hukum internasional karena di samping negara, juga ternyata ada subyek-subyek hukum internasional lain seperti lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi internasional, subyek-subyek hukum yang bukan negara yang sangat bevariasi dan beranekaragam dan juga individu yang juga memiliki hak-hak serta kewajiban internasional yang didasarkan atas hukum internasional. Selain memberikan deskripsi mengenai subyek-subyek hukum internasional, juga definisi tersebut di atas mendeskripsikan bahwa subyek-subyek hukum itu dapat melakukan interaksi atau hubungan satu sama lain, baik hubungan antara negara dengan negara, negara dengan organisasi internasional, organisasi internasional yang satu dengan organisasi internasional lainnya, negara ataupun organisasi internasional dengan subyek hukum lain seperti pihak belligerensi, korporasi (nasional dan multinasional) maupun individu, semuanya ini dapat menjadi aktor-aktor penting dalam masyarakat dunia yang dapat memberikan kontribusi dalam pembentukan kaidah-kaidah hukum internasional. Melalui hubungan yang dilakukan oleh subyek-subyek hukum internasional baik hubungan antarsesama subyek hukum internasional maupun hubungan dengan yang bukan sesamanya, pada akhirnya akan melahirkan azas-azas serta kaidah-kaidah hukum interna sional.
Segala hal yang telah diuraikan di atas terkait dengan batasan hukum internasional khususnya batasan hukum internasional yang dikemukakan oleh J.G. Starke adalah sejalan dengan apa yang pernah dikemukakan oleh Komar Kantaatmaja bahwa pendekatan hukum internasional modern melihat permasalahannya dari dua macam pendekatan, yakni dari pendekatan statik serta pendekatan dinamik. Pendekatan statik dalam hukum internasional melihat dari segi teoretik doktriner dan interpretasi yang diciptakan dari sejarah pembentukannya dan segala perangkat yang berkaitan dengan permasalahan tersebut. Pendekatan dinamik melihat dari bagaimana sebuah konsep berkembang dari bentuk asalnya menjadi bentuk masa kini yang sesuai dengan dinamika perkembangan dan kebutuhan masyarakat internasional masa kini. Oleh karena itu perkembangan dinamik ini memberi ciri dan bentuk baru terhadap berbagai aspek kehidupan dari masyarakat internasional sekarang dalam perkembangannya menuju suatu perangkat kaidah hukum internasional masa mendatang (lihat Komar Kantaatmadja, “Evolusi Hukum Kebiasaan Internasional”, 1988, Hlm.1).
Definisi Hukum Internasional sebagaimana dipaparkan di atas pada hakekatnya menunjukkan pengertian yang sama (walaupun dengan rumusan yang berbeda) karena definisi tersebut secara jelas memberikan gambaran mengenai subyek-subyek hukum internasional atau pelaku-pelaku atau aktor-aktor dalam masyarakat internasional. Subyek-subyek hukum ini tidak hanya terbatas pada negara saja kendatipun negara adalah merupakan subyek utama dalam hukum internasional, namun negara bukan satu-satunya sebagai subyek hukum internasional karena di samping negara, juga ternyata ada subyek-subyek hukum internasional lain seperti lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi internasional, subyek-subyek hukum yang bukan negara yang sangat bevariasi dan beranekaragam dan juga individu yang juga memiliki hak-hak serta kewajiban internasional yang didasarkan atas hukum internasional. Selain memberikan deskripsi mengenai subyek-subyek hukum internasional, juga definisi tersebut di atas mendeskripsikan bahwa subyek-subyek hukum itu dapat melakukan interaksi atau hubungan satu sama lain, baik hubungan antara negara dengan negara, negara dengan organisasi internasional, organisasi internasional yang satu dengan organisasi internasional lainnya, negara ataupun organisasi internasional dengan subyek hukum lain seperti pihak belligerensi, korporasi (nasional dan multinasional) maupun individu, semuanya ini dapat menjadi aktor-aktor penting dalam masyarakat dunia yang dapat memberikan kontribusi dalam pembentukan kaidah-kaidah hukum internasional. Melalui hubungan yang dilakukan oleh subyek-subyek hukum internasional baik hubungan antarsesama subyek hukum internasional maupun hubungan dengan yang bukan sesamanya, pada akhirnya akan melahirkan azas-azas serta kaidah-kaidah hukum interna sional.
Segala hal yang telah diuraikan di atas terkait dengan batasan hukum internasional khususnya batasan hukum internasional yang dikemukakan oleh J.G. Starke adalah sejalan dengan apa yang pernah dikemukakan oleh Komar Kantaatmaja bahwa pendekatan hukum internasional modern melihat permasalahannya dari dua macam pendekatan, yakni dari pendekatan statik serta pendekatan dinamik. Pendekatan statik dalam hukum internasional melihat dari segi teoretik doktriner dan interpretasi yang diciptakan dari sejarah pembentukannya dan segala perangkat yang berkaitan dengan permasalahan tersebut. Pendekatan dinamik melihat dari bagaimana sebuah konsep berkembang dari bentuk asalnya menjadi bentuk masa kini yang sesuai dengan dinamika perkembangan dan kebutuhan masyarakat internasional masa kini. Oleh karena itu perkembangan dinamik ini memberi ciri dan bentuk baru terhadap berbagai aspek kehidupan dari masyarakat internasional sekarang dalam perkembangannya menuju suatu perangkat kaidah hukum internasional masa mendatang (lihat Komar Kantaatmadja, “Evolusi Hukum Kebiasaan Internasional”, 1988, Hlm.1).
kASUS HAK CIPTA
Contoh kasus
OK, sekarang coba kita lihat produk Coca-Cola,
misalnya, dari sudut hak paten, hak cipta, dan merek dagang:
- Formula: Coca-Cola memilih mengkategorikan formula yang digunakan sebagai rahasia dagang. Alternatifnya adalah hak paten.
- Bagaimana dengan kemasan Coca-Cola? Ini akan masuk ke dalam cakupan perlindungan desain industri
- Logo Coca-Cola: Merek dagang
- Sebagai tambahan, bila Coca-Cola membuat penemuan baru dalam hal proses produksi cola, penemuan ini kemungkinan akan dilindungi oleh hak paten.
Konsekuensinya, formula Coca-Cola saat ini masih dilindungi oleh
rahasia dagang (bila dulu Coca-Cola memilih paten, patennya sekarang sudah
kadaluwarsa), tapi perusahaan lain seperti Pepsi bisa membuat produk cola
saingan. Melihat situasi Coca-Cola saat ini, bisa dikatakan bahwa HKI
mereka yang paling berharga adalah merek dagang.
Ngomong-ngomong soal karya seni,
bagaimana dengan musik klasik? Bila kita bicara musik klasik dalam artian karya
musisi abad lampau seperti Mozart atau J.S. Bach (bukannya
"musik yang dimainkan oleh orkestra" yang bisa mencakup karya
komponis modern seperti John
Williams), maka karya-karya tersebut biasanya sudah masuk ke dalam public domain.
Akan tetapi, karya-karya turunannya mungkin masih dilindungi oleh hak cipta.
Sebagai contoh, album rekaman London
Classical Players di depan saya, yang berisi kesembilan simfoni Beethoven,
dilindungi oleh hak cipta. Demikian juga misalnya besok ada orang yang membuat
adaptasi karya Brahms untuk duet gitar listrik dan akordion
(mudah-mudahan tidak :P), aransemen tersebut akan dilindungi oleh hak cipta.
Ada perkecualian-perkecualian dalam
hak cipta, yang biasanya dikenal dengan doktrin fair use (di AS) atau fair
dealing. Dalam konteks Indonesia, pembahasan singkat tentang perkecualian
ini dapat dilihat di entri
Wikipedia Indonesia terkait. Perkecualian ini seringkali mencakup
penggunaan untuk keperluan akademis.
Kekuatan dan Tujuan Hukum Internasional: Wawasan dari
Teori & Praktek Penegakan
Mary Ellen O'Connell. The Power and Purpose of International Law:
Insights from the Theory & Practice of Enforcement . Mary Ellen
O'Connell dan. The Power Tujuan Hukum Internasional: Wawasan dari Teori
& Praktek Penegakan. New York: Oxford University Press, 2008. New
York: Oxford University Press, 2008. Pp 408. 408 hlm. $45.00. $ 45,00. ISBN:
9780195368949. ISBN: 9780195368949. 1
1
The Power and Purpose of International Law is a
critical response Kekuatan dan Tujuan Hukum Internasional merupakan
respon kritis to the dismissive attitude adopted by the Bush administration,
dengan sikap meremehkan diadopsi oleh pemerintahan Bush, neo-conservatives, and
some US writers and scholars – neo-konservatif, dan beberapa penulis Amerika
Serikat dan sarjana - such as Goldsmith and Posner – towards international law.
seperti Goldsmith dan Posner - terhadap hukum internasional. Advocating the
reality and relevance of international law, the Advokasi realitas dan relevansi
hukum internasional, book is to be situated within the larger, classical
literature Buku ini akan terletak di dalam yang lebih besar, literatur klasik
on the foundations and legal basis of obligations of international pada pondasi
dan dasar hukum dari kewajiban internasional law. hukum. It is expressly
inspired by scholars (such as Grotius, Hal ini jelas terinspirasi oleh para
ahli (seperti Grotius, Hersch Lauterpacht, Hart, and Franck) who have defended
international Hersch Lauterpacht, Hart, dan Franck) yang membela internasional
law as true law against realists, positivists, and critics (including hukum
sebagai hukum yang benar terhadap realis, positivis, dan kritik (termasuk
Hobbes, Austin, Morgenthau, Kennan, Schmitt, Kennedy, Carty, Hobbes, Austin,
Morgenthau, Kennan, Schmitt, Kennedy, Carty, Koskenniemi, in addition to
Goldsmith and Posner) from the beginning Koskenniemi, di samping Goldsmith dan
Posner) dari awal of the modern age to now, in particular Louis Henkin – zaman
modern sekarang, di Henkin Louis tertentu - to whom the book is dedicated
together with Sir Elihu Lauterpacht. kepada siapa buku ini didedikasikan
bersama dengan Sir Elihu Lauterpacht. Henkin's famous adage, 'almost all
nations observe almost pepatah terkenal Henkin's, 'hampir semua bangsa amati
hampir all principles of international law and almost all of their semua
prinsip-prinsip hukum internasional dan hampir semua dari mereka obligations
almost all of the time', is repeatedly quoted kewajiban hampir sepanjang waktu
", berulang kali dikutip as 'still true today' throughout the book (at 7,
sebagai 'masih berlaku saat ini' dalam buku ini (di 7, 76, 369). 76, 369).
Hak seorang PENCIPTA
Pemilik
hak cipta memiliki berikut hak-hak :
(1) to reproduce the copyrighted work; (1) untuk mereproduksi karya berhak cipta;
(2) to prepare derivative works based upon the copyrighted work; (2) untuk menyiapkan karya turunan berdasarkan karya berhak cipta;
(3) to distribute the copyrighted work to the public; (3) untuk mendistribusikan karya berhak cipta kepada masyarakat;
(4) to perform the copyrighted work in public; and (4) untuk melakukan karya berhak cipta di depan umum, dan
(5) to display the copyrighted work in public. (5) untuk menampilkan karya berhak cipta di depan umum.
The author also has the right to authorize others to exercise these rights and prevent others from exercising them regarding his or her work. Penulis juga memiliki hak untuk mengotorisasi orang lain untuk melaksanakan hak-hak dan mencegah orang lain dari latihan mereka tentang kerjanya.
(1) to reproduce the copyrighted work; (1) untuk mereproduksi karya berhak cipta;
(2) to prepare derivative works based upon the copyrighted work; (2) untuk menyiapkan karya turunan berdasarkan karya berhak cipta;
(3) to distribute the copyrighted work to the public; (3) untuk mendistribusikan karya berhak cipta kepada masyarakat;
(4) to perform the copyrighted work in public; and (4) untuk melakukan karya berhak cipta di depan umum, dan
(5) to display the copyrighted work in public. (5) untuk menampilkan karya berhak cipta di depan umum.
The author also has the right to authorize others to exercise these rights and prevent others from exercising them regarding his or her work. Penulis juga memiliki hak untuk mengotorisasi orang lain untuk melaksanakan hak-hak dan mencegah orang lain dari latihan mereka tentang kerjanya.
Hukum Amerika Serikat
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Hukum Amerika Serikat pada awalnya diambil sebagian besar dari common law dari sistem hukum Inggris, yang berlaku pada saat Perang Kemerdekaan. Namun, hukum tertinggi di negara ini adalah Konstitusi Amerika Serikat dan, menurut Klausa Supremasi Konstitusi, hukum-hukum yang diberlakukan oleh Kongres dan perjanjian-perjanjian yang mengikat Amerika Serikat. Semua ini merupakan dasar bagi undang-undang federal di bawah konstitusi federal di Amerika Serikat, yang membentuk batas-batas yurisdiksi undang-undang federal dan undang-undang di ke-50 negara bagian AS dan wilayah-wilayahnya.Sumber-sumber hukum
Di Amerika Serikat, ada empat sumber hukum, yaitu hukum konstitusi, hukum administratif, statuta (hukum resmi yang tertulis di suatu negara), dan common law (yang mencakup hukum kasus). Sumber hukum yang terpenting adalah Konstitusi Amerika Serikat, dan segala sesuatu berada di bawahnya, dan takluk kepadanya. Tak boleh ada hukum yang berkontradiksi dengan Konstitusi Amerika Serikat. Misalnya, bila Kongres menyetujui sebuah statuta yang berlawanan dengan konstitusi, maka Mahkamah Agung dapat menganggap hukum itu inkonstitusional dan membatalkannya.Common law Amerika
Meskipun Amerika Serikat dan kebanyakan negara-negara Persemakmuran mewarisi tradisional common law, dari sistem hukum Inggris, hukum Amerika cenderung unik dalam banyak hal. Ini disebabkan karena system hukum Amerika terputus dari system hukum Britania karena revolusi kemerdekaan negara ini, dan setelah itu ia berkembang secara mandiri dari system hukum Persemakmuran Britania. Oleh karena itu, bila kita mencoba menelusuri perkembangan prinsip-prinsip common law yang tradisional dibuat oleh para hakim, artinya, sejumlah kecil hukum yang belum dibatalkan oleh hukum-hukum yang lebih baru, maka peradilan peradilan Amerika akan melihat kepada kasus-kasus di Britania hanya sampai ke awal abad ke-19.
Hukum di Indonesia
merupakan campuran dari sistem hukum hukum
Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik
perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya
dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah
jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum
Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka
dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan,
kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum
Adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi,[1]
yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan
budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.
Asas dalam hukum acara pidana
Asas didalam hukum acara pidana di Indonesia adalah:- Asas perintah tertulis, yaitu segala tindakan hukum hanya dapat dilakukan berdasarkan perintah tertulis dari pejabat yang berwenang sesuai dengan UU.
- Asas peradilan cepat, sederhana, biaya ringan, jujur, dan tidak memihak, yaitu serangkaian proses peradilan pidana (dari penyidikan sampai dengan putusan hakim) dilakukan cepat, ringkas, jujur, dan adil (pasal 50 KUHAP).
- Asas memperoleh bantuan hukum, yaitu setiap orang punya kesempatan, bahkan wajib memperoleh bantuan hukum guna pembelaan atas dirinya (pasal 54 KUHAP).
- Asas terbuka, yaitu pemeriksaan tindak pidana dilakukan secara terbuka untuk umum (pasal 64 KUHAP).
- Asas pembuktian, yaitu tersangka/terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian (pasal 66 KUHAP), kecuali diatur lain oleh UU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri komentarmu di sini ^^