“kriiing..!”
“kriiing..!”
Alarm
kamarku menyapa pagi itu. Fajar di ufuk timur menyambutku dari celah-celah
jendela kamarku. Indah rasanya bias menatap cahaya bulat kemerahan dari
kamarku. Tapi, Lihat! Bantal guling dan komik yang ku baca semalam, sudah
berserakan dimana-mana. Aku memang paling malas membereskan tempat tidur,
sampai Ibuku pun menyebut kamarku “Gudang”.
Alarm
kamarku memang setia membangunkan ku setiap pagi, walaupun kadang-kadang aku sering
bandel untuk bangun, tapi alarm kamarku tak pernah marah padaku, malah ia
semakin rewel dan rewel saja kalau aku tak lekas bangun!
“hihihi..!”
“Jelaslah begitu, jam wėker yang aku beli di pasar kaget seharga lima ribu lima
ratus lima puluh lima rupiah itu, selalu aku putar jarum merahnya ke angka enam
lebih lima belas menit, waktu dimana aku harus ekstra berusaha bangun sekuat
tenagaku.” “Hmm, lebay sekali aku ini, bangun tidur saja harus menggunakan
tenaga yang sangat besar!”
“huh,
dasar lebay!”
“Ssstt..”
“Tapi…
hati-hati!” “kalau aku tak juga bangun, bersiaplah aku untuk menyapa ibu yang siap
membangunkanku dengan bunyi perabotan dapurnya yang ia pukul-pukul di samping
telingaku hingga kupingku pengang! seperti bunyi peperangan paregreg saja!”
“Trang!
Treng! Trong!” “Bisa mati aku!”
“Aku
memang paling susah untuk yang namanya bangun pagi. Jangankan jam wėker, bunyi
perang paregreg disamping telingaku saja, aku jarang sekali terbangun!”
“Tapi..
ada untungnya juga kok aku susah bangun! Ayah, ibu, dan si bawel nunu, adikku
yang paling kecil, jadi tak usah lagi mengantri menungguku di depan kamar mandi
ketika aku tertidur di kamar mandi itu!”
“Hehehe..”
“Aku
tak pernah menyangka, kok bisa ya aku tidur dimana saja aku hinggap, huh! seperti
kupu-kupu saja aku hinggap, sampai-sampai aku di juluki “Si Raja Tidur” oleh
ayah, ibu, dan adik ku.”
“Yasudahlah,
aku memang tukang tidur, tapi aku tak rela kalau aku di bilang si raja tidur!”
“tahu
kenapa?”
“Soalnya..
ada yang jauh lebih kebluk tidurnya dariku, ‘si gandut Babahong namanya,’
satu-satunya orang yang suka tidur di
kelas waktu Ibu Guru Aci mulai menerangkan pelajaran matematikanya di white
board depan kelasku.”
“Dengan
segudang rumus-rumusnya yang membuat kami pusing sembilan keliling, Bu Aci
terus mengeluarkan jurus-jurus jitu nya menaklukan angka-angka itu.
Fiuh..!
“Bu Aci.. Bu Aci.., ‘beta sonde sudeka, masih jaman saja bėlajar matėmatika!” Si
Tigor berpantun dengan gaya bataknya.
“Tahu tidak?, Bu Aci adalah salah satu guru
yang paling kami musuhi, karena.. dia selalu on time masuk ke kelas kami setiap
pelajarannya.” Padahal, teman-teman dikelasku belum juga datang ketika ia (Bu
Aci), mulai membuka lembaran buku paket matematikanya yang sangat tebal itu.
Biasanya
bel sekolah berbunyi pada pukul 07.00 pagi, dan kami selalu datang terlambat
hampir 40menit setiap harinya. Namun, hanya saat pelajaran Bu Aci saja kami
bangun pagi, karena bagi siapa yang telat, Bu Aci biasanya menghukum kami
dengan cara menyuruh kami untuk mengerjakan soal-soal matematikanya yang tidak
pernah kami sukai itu.
“Jangankan
suka, rumus perkalian dan penjumlahan pun aku tak tahu!”
“a+b=c,
c+d=…..”
“Uh..
dasar Bu Aci ini, apa dia tidak tahu kalau aku sudah pintar matematika!”
“Buktinya aku tahu uang seribu nol nya tiga, sepuluh ribu nol nya empat,
seratus ribu nol nya lima, gampang kan..?” Emang Bu Aci saja yang tidak tahu
kalau aku sudah jago ngitung.!
“Waktu
seperti lama sekali berakhir, 06.50.. 06.55.. sampai pukul 07.15, murid yang datang
baru beberapa orang saja, Ketika aku tanya mereka, ternyata jawaban mereka sama
denganku,”
“Malas
belajar pelajaran Bu Aci.” Hahaha... .
“Kami
memang sedikit bandel dikelas, tercatat sudah lima orang guru keluar dari
sekolah karena tingkah kelas kami yang tak ada matinya.”
“Dimulai dari guru bahasa inggris kami yang
memiliki suara kecil. Ya, sekecil sekali, kami biasa menyebutnya guru ⅓ oktaf, Habisnya..
suaranya yang memang sangat kecil nyaris tak terdengar.
“Pak
Madun namanya.”
“Teman
kami, Cellin, yang suaranya paling kecil saja, kalah olehnya.”
“Kegaduhan
dimulai..!”
“ketika
Pak Madun masuk kelas, ia sudah mendapat surprice dari kami. Diatas pintu masuk
kelas, kami menaruh ember yang berisi terigu, air, dan telur mentah. Jadi,
ketika Pak Madun membuka pintunya…
“Bruaaakk…!”
“Terigu,
air, dan telur itu langsung menyambutnya. Ember yang tadi pun masuk ke
kepalanya.”
“hahaha…”
kami sorak sorai kegelian.
“Eh,
tapi kenapa Pak Madun diam saja, ya?”
“Kok,
kenapa ia tidak marah, ya?”
Ia malah tersenyum-senyum melihat ulah kami
yang jahil.
“Aku
dan teman-teman begitu bingung, setelah ia duduk di kursinya.. ia malah
mengucapkan terima kasih kapada kami, dan ternyata... itu adalah hari ulang
tahunnya!”
“Gubraaaaaakk…!”
“aku dan teman-temanku seakan-akan jatuh
kelantai bersamaan.”
“Pantas
saja ia kegirangan, ia fikir kita sedang merayakan ulang tahunnya!” Kata si
Gendut Babahong.
Ulah kami yang berniat membuatnya kapok, malah
dibalas dengan terima kasih oleh Pak Madun.
“Saya tidak menyangka kalian se-antusias
ini memberikan kejutan dihari ulang tahun saya, saya sangat terharu anak-anak,
terima kasih sekali..?” Ucap Pak Madun.
“Kami
begitu kesal saat itu juga.”
Besoknya..
kami menyiapkan strategi baru untuk kembali menjahili Pak Madun.
Ke
esokan harinya…
“Kriing…!”
“Kring…!”
Bel
sekolah telah berbunyi, tandanya untuk masuk kelas. Sontak aku dan
teman-temanku langsung masuk ke kelas, sementara itu temanku sikembar, Anda dan
Andi sudah membawa perlengkapan kejahilan kami yang ia ambil dari bahan untuk adonan
kue milik Emaknya. Terigu dan telur mentah.
Ucrit,
tangkil, dan Siberi-beri, langsung memasang perangkat yang sama di atas pintu
masuk kelas, sedangkan aku, wajan, dan satu lagi temanku yang paling jahil,
Petrus, menyiapkan kejutan dikursi yang akan diduduki Pak Madun. Aku menaruhkan
lem besi dikursinya.
“hehehe..
gak kebayang seperti apa jadinya nanti.”
Bayangan-bayangan
kejahilan dari otak ku berterbangan, ibaratnya dari gelembung-gelembung kecil
sampai berbentuk seperti awan di atas kepalaku. “Hehehe.. .”
Semua
telah siap, kami langsung duduk rapi di kursi masing-masing dengan versi yang
berbeda-beda, Sambil menunggu Pak Madun datang, seperti biasa kegaduhan kelas
kami terdengar kemana-mana. Ada yang bermain bulu tangkis dikelas, ada yang bermain
lempar kapal-kapalan kertas, ada yang baru sempat menggosok gigi dikelas,
sampai yang cukur rambutpun ada dikelasku. Semua lengkap, made in kelasku, tiga
social dua (3IPS2).
Kami
semua memang keluarga jahil, ketika suatu hari kami sedang ngumpul di kantin
sekolah, kami membuat genk yang kami beri nama “ASINAN BASI.” Ya, aneh memang, kepanjangan
dari “Aliansi Anak-anak Bandel dan Berprestasi.” “Hehehehe.. .”
“Ups..
musuh datang.. musuh datang.. tiarap teman-teman!” Si Petrus member kode kepada
kami.
“Tok.
Tok. Tok.” Pintu kelas kami lalu diketuk.
Tiba-tiba…..
“Bruaaaakk…!”
“Jebakan
kami kembali berhasil!”
Sontak
kami ketawa sekeras-kerasnya. “hahaha… hahaha…
kena
deh.!”
“Ett,
tapi.., tunggu dulu, ternyata gurunya bukan Pak Madun!”
“Siapa
ya guru ini?”
Yang
anehnya lagi, ia juga bersikap sama seperti Pak Madun, tidak marah, ataupun
kesal dengan ulah kami. Ia malah tersenyum lebih lebar dan mengucapkan hal yang
sama dengan Pak Madun,
“Terimakasih anak-anak, kalian
sudah sangat antusias menyambut kedatangan saya sebagai guru baru kalian, saya sangat
berterima kasih, saya sangat terharu sekali, tidak menyangka kalian menyiapkan
kejutan semeriah ini untuk saya.”
“Gubraaaakkk…!”
“Lagi-lagi
kami yang merasa dijahili oleh guru baru kami, bukannya ia kapok tapi ia malah
kegirangan menerima ulah jahil kami. Apalagi lem besi yang aku taruh dikursi
guru, ternyata bukan lem besi, itu hanya lem kertas yang tidak membikin celana guru
itu menempel.”
“Wah!
Wah! Wah!” kami benar-benar geram!
Sebelumnya
cara kami ini selalu berhasil membuat guru-guru baru itu kapok, tetapi kali ini
mereka malah berbalik mengerjai kami.
Tiba-tiba…
“Byuuuuurrr…”
Ibu
menyiramku dengan seėmber air! Sontak saja suara latahku muncul.
“Ayam
sayuur..! Ayam sayuur..!” “Gue diguyur lagi…!”
Aku
langsung terbangun, ternyata aku kembali tertidur dikamar mandi, ceritaku yang
sedang menjahili Pak Madun dan guru baru dengan guyuran telur dan terigu itu,
seakan langsung aku rasakan dari guyuran air dari ibu.
“Wowo…..!” (Teriakan Ibu, Ayah, dan
adikku Nunu serentak)
“Kebiasaan
sekali kamu tidur dikamar mandi!”
“Lihat!
Jam berapa ini?” “Cepat bangun..!”
“Sekarang
sudah pukul 07.15! Kau kesiangan lagi..!”
“waaaaaa…..
gaswaaat…..!” Aku panik!
Faisal A. Habibullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri komentarmu di sini ^^