Media Berbagi Ilmu

Selamat datang di blogg Media Berbagi Ilmu.

Jumat, 04 November 2011

Motivasi agar Kamu Mau Menulis

Menulis?
Bisa Gak, ya…?
Untuk kamu yang bersedia membaca, jangan berhenti dulu, ya, aku minta beberapa menit waktumu untuk membaca tulisanku ini..

Menulis, ya?
Hm.. mendengar kata-katanya saja… sepertinya aku berpikir dua kali untuk melakukan pekerjaan itu. Kamu tahu kenapa? Menurutku, menulis itu lumayan membutuhkan tenaga dan pikiran. Untuk menulis dua sampai tiga paragrap saja, rasanya aku tidak memiliki kemampuan untuk mengerjakannya. Kata orang, menulis bisa membuat kita mencurahkan apa  yang tidak bisa kita curahkan kepada orang lain. Kata orang menulis bisa membuat kita lega, dan menulis bisa menjadi sarana kita untuk menuangkan inspirasi yang mungkin menjadi suatu ide yang tidak semua orang tahu. Tapi, menurutku tidak semuanya benar. Kamu tahu kenapa? Menurutku menulis kadang membuat aku bingung, bingung karena sering kehabisan ide untuk melanjutkan apa yang sedang aku tulis.
Saat naluri menulis naik, tiba-tiba saja ‘stak’ di tengah jalan begitu saja karena kehabisan ide untuk meneruskan cerita. Tapi...  ini kan hanya opini kosong yang aku tulis tanpa dasar kuat atau observasi langsung. Jangan terpengaruh untuk tidak menulis soal apa pun yang mau kamu tulis, ya. Karena, setiap orang kan punya cerita sendiri-sendiri yang mungkin gak bisa diceritakan kepada orang lain. Nah, buat mencurahkan cerita itu ya lewat tulisan.


Eh iya, ngomong-ngomong soal cerita... Aku punya cerita nih, bukan cerita lucu sih... bukan juga cerita horor. Cuma cerita yang pengen aku bagi lewat tulisan ini.  Kalau ceritanya bagus ya aku bersyukur, tapi kalau gak bagus aku harap kamu gak nyesel setelah bacanya :)
Jadi ceritanya begini, beberapa hari yang lalu waktu aku pulang kuliah, tiba-tiba saja hujan lebat menghentikan perjalananku di Depok. Aku lupa membawa jas hujan waktu itu, jadi mau tidak mau aku mencari tempat untuk berteduh.
Setelah sedikit kehujanan, akhirnya aku menemukan gang kecil yang memiliki kap saung (genteng) di atasnya. Yah, daripada basah kuyup akhirnya aku berhenti di situ. Lama kelamaan ternyata  hujan semakin deras saja. Nah, seiring deresnya hujan itu ternyata makin banyak juga yang ikut meneduh bersamaku. Ada ibu dan anak perempuannya, usianya kira2  sekitar 7 tahun. Ada juga dua anak muda dan dua anak perempuan yang masih sekolah SMA (terlihat dari seragam yang mereka kenakan). Hem, gak terasa hujan deras sudah berlangsung hampir 1 jam. Rencana buat buka puasa di rumah akhirnya terpaksa aku urungkan karena waktu semakin mendekati azan magrib. Eh, tapi gak terasa juga sambil meneduh itu malah banyak hal unik, lucu, sampe hal yang miris aku lihat. Pertama, pemuda yang juga ikut meneduh bersamaku nampak menggoda-goda dua anak perempuan SMA yang ada di sampingku. Dengan godaan ala "rayuan Andre Taulani di serial komedi Opera Van Java" bikin aku cengar-cengir :D . Dua anak perempuan itu juga sepertinya humoris, dirayu seperti itu tapi bisa saja jawabnya.

Ada lagi yang lucu tapi kasihan, sandal anak ibu itu  tiba-tiba terbawa air hujan sampe si anak teriak-teriak "mama, mama, mama, sendalnya...!" ,dua anak muda yang kelihatan doyan nonton OVJ itu juga ikut latah dengan ikut teriak-teriak. Hihi. Dan yang lucu lagi, di antara hujan deras itu, ada orang gila yang hujan-hujanan sambil berteriak "terus..terus.." ,setelah itu tertawa terbahak-bahak. Sepertinya dia bekas juru parkir kali, ya. Hehehe. Oia, disela-sela hal yang lucu tadi, aku sedikit terenyuh dengan seorang anak kecil yang mungkin masih seumuran dengan adik ku. Kulitnya cokelat dan baju yang ia kenakan sedikit lusuh. Tapi menjadi lebih lusuh setelah terus dibasahi oleh air hujan. Rupanya dia menjadi seorang ojek payung. Aku dan  yang lain begitu berusaha untuk mencari tempat untuk berteduh, sedangkan dia tidak peduli sekalipun hujan terus mengguyur tubuhnya, padahal ia bisa saja sakit karena terkena air hujan yang baru pertama kali turun. Entah siapa nama anak itu, tapi dia hanya sempat menjawab satu pertanyaanku, "aku kelas lima SD, Kak," ujarnya dan langsung menjauhiku.

Kasihan melihatnya. Coba saja aku punya lebih banyak kesempatan untuk tahu siapa anak itu, aku hendak aku merogoh dompetku, bermaksud ingin memberi ia sepeser uang walaupun aku tau itu tidak seberapa. Tapi, dia malah lari ke tempat yang lebih jauh, sepertinya ia mencari pelanggan ojek payungnya. Tapi kenapa harus hujan-hujanan? Padahal dia memegang payung di lengan mungilnya. Namun, payung itu sepertinya baru akan dia buka jika melihat pelanggan ojek payungnya. Soal dirinya basah kuyup, mungkin ia tidak peduli karena ia sudah biasa merasakannya. Aku sempat  berpikir, kalau adikku yang hujan-hujanan seperti anak itu... Subhanallah, aku tidak tahu apa orang juga akan kasihan seperti aku kasihan dengan anak itu?

Belum aku sempat bertanya lebih jauh, dia sudah mencari pelanggan ojek payungnya lagi. Aku hanya ingin tahu apa pekerjaan orang tuanya dan kenapa dia mau menjadi ojek payung? Tapi anak itu kelihatan tidak menyerah. Dia terus menahan dinginnya air hujan yang semakin deras. Aku terus memperhatikannya, sambil mendengar ocehan dan rayuan dua pemuda yang masih berusaha mendekati dua perempuan yang sepertinya masih duduk di bangku SMA itu.

Tidak lama, ada sebuah angkot berhenti di depan kami, rupanya angkot itu menurunkan seorang nenek tua yang sudah paruh baya. Nenek itu membawa sekantung belanjaan yang entah apa isisnya. Tapi anak kecil itu langsung menyambutnya dengan ramah. Lekas ia membuka payungnya dan memayungi sang nenek, diantarkannya menyusuri gang kecil tempat aku berteduh. "Apa dia neneknya? Atau memang nenek itu pelanggan satu-satunya? Yang pasti anak itu begitu berhanti-hati memboyong sang nenek.

Wah, adik kecil itu benar-benar memberikan cerita tersendiri saat aku berteduh. Ia seperti "alarm" yang mengingatkanku tentang pentingnya bersyukur.
Oya, tidak terasa hujan sudah reda, waktu menunjukan  pukul 17.35, aku harus bergegas mencari tempat untuk berbuka puasa. Kulihat satu persatu orang yang meneduh bersamaku mulai melanjutkan perjalanan. Ibu dan anaknya yang mungil, dua pemuda itu, juga  dua remaja SMA itu mulai meninggalkan tempat kami berteduh.
Selamat tinggal gang kecil, rupanya banyak hal yang tidak aku duga yang bisa kulihat selama berteduh di sana. Ya, hal yang lucu, menghibur, serta mengingatkan aku tentang pentingnya “bersyukur”.
            Oh ya, tidak terasa, ya. Ternyata aku bercerita lumayan panjang juga. Sepertinya… butuh waktu sekitar 30 menit sampai 1 jam bagiku untuk menyelesaikan tulisan ini. Berapa waktu yang kamu pakai untuk membaca tulisanku yang masih semrawut ini?
Aku minta maaf sudah menyita waktu kamu. Tapi, dengan membuat cerita yang seakan-akan aku tidak mau dan tidak suka menulis seperti ini, justru secara tidak sadar malah melahirkan beberapa lembar halaman. Paragrap demi paragrap tidak terasa aku buat, padahal maksudnya hanya satu, yaitu “menyampaikan opiniku bahwa menulis itu sulit”. Tapi, justru dengan opini ini aku malah menulis dan terus menulis. Paham maksudnya? Maksudku, siapapun bisa menulis. Bahkan saat kita mengutarakan ketidaksukaan kita tentang sesuatu, itu malah bisa menjadi tulisan.
Satu hal yang ingin aku sampaikan, bahwa aku juga bukan orang yang begitu fanatik untuk menulis, akan tetapi aku suka menulis saat-saat seperti ini, saat keadaan di sekitarku memberikan inspirasi.
Terimakasih sebelumnya sudah menyempatkan membaca note ku yang biasa ini. Aku harap kamu mau menyumbangkan sebagian waktumu untuk memberikan komentar. Memberikan beberapa kata masukan sebagai bahan perbaikan. Apapun itu, aku harap bisa menjadi masukan yang baik untukku pribadi :)


Salam,


     "Faisal Abduh Habibullah"
Semoga bermanfaat untuk kamu yang rela membacanya :)

Catatan: Tulisan ini tidak sepenuhnya menggunakan kata-kata baku agar tidak terlalu kaku. Jadi, mohon maaf apabila tata bahasanya ada yang salah :)

Jual Roti Demi Membantu Sang Ayah

Jual Roti Demi Membantu Sang Ayah

Sabtu sore...
      Suara lantang dua orang anak kecil tiba-tiba memecah keramaian jalan di sore hari. Bahkan, tak khayal teriakan mereka turut menjadi perhatian bagi beberapa warga yang dihampirinya. Kulihat dari balik jendela rumahku, rupanya suara itu keluar dari dua mulut mungil sepasang anak yang entah dari mana asalnya.

“Roti… Roti...! Bu..., Pak... Roti..."
Ya, itulah suara lantang yang keluar dari mulut mungil kedua anak itu. Dua anak kecil yang menjajakan roti dengan cara berkeliling di Kampung Candi, Desa Kampung Sawah, Kecamatan Rumpin, Bogor, setiap sore hari menjelang buka puasa.

       Entah kenapa, naluriku kembali terpanggil untuk mengetahui lebih jauh siapa sebenarnya kedua sosok anak kecil tersebut. Aku mulai dekati mereka, bersikap selayaknya pembeli yang ingin membeli roti-roti yang mereka jajakan. Dan, perlahan-lahan akhirnya aku mulai tau siapa mereka yang sebenarnya.

       Adalah Anip dan Anis, dua kaka beradik yang masih duduk di kelas empat sekolah dasar itu sudah berusaha mencari uang sendiri dengan cara menjajakan roti keliling di kampungnya. Namun, Roti yang mereka jajakan rupanya bukan milik kedua orang tuanya, melainkan milik Pak Bani, salah seorang tetangganya. Orang tua Anip dan Anis tidak mempunyai pekerjaan yang tetap, beliau bukan seorang buruh tani ataupun wiraswasta. Rupanya beliau hanyalah seorang Guru Mengaji di kampungnya yang mengais rejeki seadanya, sedangkan ibu mereka sudah meninggal beberapa tahun silam. Penghasilan orang tua Anip dan ANis tentu sangatlah minim, mungkin karena keadaan itulah yang memaksa kedua anak tersebut mau berusaha mencari tambahan uang jajan sendiri demi membantu sang Ayah. Namun, upah yang diterima Anip dan Anis rupanya hanya Rp3000, itupun kalau roti yang mereka jajakan tersebut habis terjual. “Buat uang jajan sekolah, tapi buat ditabung juga siapa tau bisa beli baju lebaran sendiri,” jawab Anis.
Berjualan seperti itu rupanya sudah dilakukan Anip dan Anis cukup lama, bukan hanya roti, melainkan apapun yang bisa mereka jual dari tetangganya. "Kami cuma kuli," katanya.

         Setapak demi setapak langkah pendek mereka mengitari jalan Kampung Candi, mereka terlihat untuk terus mencoba mencari pembeli yang ingin membeli roti-roti mereka tanpa kata "menyerah". Namun, terkadang nasib berkata lain, kadang roti yang mereka jajakan tersebut tidak habis atau bahkan tidak laku lantaran orang-orang sudah membelinya dari pasar atau supermarket. Akan tetapi mereka tidak pernah putus asa, beberapa kilometer perjalanan tak pernah menjadi keluhan bagi kedua anak tersebut untuk terus menjajakan roti yang mereka tanggung di pundak mungilnya. Bagi mereka, itu sudah menjadi tantangan tersendiri dalam menjual roti-rotinya.

     Saat mereka berjualan, Baik Anip maupun Anis tidak pernah menggunakan alas kaki sekalipun mereka harus berjalan beratus-ratus meter jauhnya untuk menjajakan roti-roti itu, nampaknya kedua kaki mereka sudah cukup kebal untuk menahan hujatan bebatuan yang ada di jalanan. Kerikil-kerikil kecil di sepanjang jalan yang mereka lewati...nampaknya tak mereka hiraukan. “Gak apa-apa, udah biasa ka, lagian hari udah sore jadi jalanannya juga udah enggak panas,” ujar Anip sembari tersenyum.

     Niat tulus kedua anak tersebut untuk membantu kedua orang tuanya begitu patut untuk ditiru, walaupun umur mereka masih belia, namun keduanya begitu semangat dalam mencari sepeser uang demi membantu ayahnya. Anip dan Anis rupanya  memiliki cita-cita yang mulia, keduanya ingin mejadi seorang guru agar bisa mengajar anak-anak seusianya kelak di masa depan nanti. “Pengen jadi guru SD, biar bisa ngajar temen-temen yang seusiaku juga,supaya mereka bisa jadi orang-rang yang berguna,” ungkap Anip yang diamini Anis. Mereka berharap agar roti dagangannya hari itu dapat laku terjual semua agar mereka bisa mendapatkan upah sekalipun hanya Rp3000. Ya, sekali lagi bisa kita bayangkan bahwa begitu berartinya uang sebesar itu bagi anak-anak seperti Anip dan Anis.


melihat semangat dan cita-citanya...
Semoga... Anip dan Anis kelak menjadi anak-anak yang kian tumbuh dengan kesuksesan, biarkan takdir dan keridhoan-Nya yang menentukan, sekalipun keterbatasan menjadi perjuangan yang penuh cerita tersendiri  bagi mereka...
Semoga...


Faisal A. Habibullah

Dunia Kampus itu Seperti Apa, Ya...?

Hem, gak salah lagi, pertanyaan ini pasti sering melintas di kepala kita yang baru  akan masuk ke dunia kampus. Benarkah?

Seperti apa ya dunia kampus itu? Apa saja yang dipelajari? Apakah cara belajarnya sama dengan belajar ketika di sekolah? Apakah dosen itu sama seperti guru? Lalu, apa benar katanya kuliah itu sesuka hati kita? Kalau begitu, apa yang kita peroleh dari kampus? Wah, semakin penasaran kan dengan dunia kampus?
Jadi, seperti apa sebenanrnyadunia kampus itu?

Lewat note ini, aku ingin berbagi sedikit cerita tentang awal memasuki dunia kampus. Selamat membaca... :)

Kuliah, ya? Hem, memang benar, pertanyaan ini yang sering muncul dibenak kepalaku saat menjelang Ujian Nasional (UN) dan ketika orang tuaku mulai menyinggung soal kuliah.  Rasanya, aku bingung akan memilih kampus mana. Semua pasti mengalami hal yang sama sepertiku, terutama untuk kita yang sekarang baru saja lulus sekolah menengah atas (SMA) dan akan melanjutkan ke perguruan tinggi, entah perguruan tinggi negeri ataupun swasta. Biasanya, kalau sudah kelas XII (dua belas) dan mendekati UN, kita mulai mengalami kebingungan akan melanjutkan kuliah di mana, memilih jurusan atau fakultas apa, atau apa bakat dan potensi yang sebenarnya kita miliki. Hingga pada akhirnya, trend ikut-ikutan teman sepermainan ketika di SMA-pun terjadi. Padahal, belum tentu kampus atau jurusan yang dipilih oleh teman kita itu cocok dengan kita. Kalau sudah seperti itu, kita bisa terperangkap oleh pilihan kita sendiri, karena yang menentukan kita bisa sukses atau tidak pun itu tergantung dari diri kita sendiri, bukan orang lain. Nah, kalo sudah seperti ini, kita harus bagaimana? Karena kita tahu penyesalan memang selalu datang diakhir.

Kalau sudah seperti ini, kita berada antara dua pilihan. Pertama, kita tetap melanjutkan kuliah yang sudah terlanjur kita pilih karena mengikuti teman, atau pilihan kedua kita pindah ke kampus lain dan memilih jurusan atau fakultas yang kita inginkan. Tentunya harus diimbangi dengan kemampuan orang tua kita dalam hal biaya karena kuncinya tetap ada pada diri kita dan mereka. Selama mereka masih mendukung secara moril dan materil, lakukan saja, yang penting jangan pernah mengecewakan mereka. Selanjutnya kita tinggal menjalankan kuliah dengan sungguh-sungguh.

AWAL PERSIAPAN MASUK KAMPUS

Sebelum kita diterima di perguruan tinggi manapun, tentunya kita harus melewati tahap seleksi. Entah melalui jalur seleksi prestasi (JSP) atau dulu lebih dikenal dengan PMDK, melalui jalur Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SMPTN), Ujian Bersama (UBER), atau program beasiswa yang tentunya perlu usaha ekstra untuk mendapatkannya. Yang jelas, cara manapun yang kita pilih, itu semua tergantung juga dari seberapa besar usaha serta niat kita untuk masuk ke perguruan tinggi yang sudah kita pilih tersebut. Melalui JSP misalnya, jalur ini dianjurkan kepada kita yang mempunyai nilai rata-rata yang memenuhi standar seleksi. Biasanya, nilai rata-rata yang ditetapkan adalah 7,0 (tujuh koma nol) untuk empat mata pelajaran yaitu bahasa Inggris, bahasa Indonesia, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)/Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), dan Matematika.

Untuk yang aktif dalam berbagai kegiatan kesiswaan seperti Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), perlombaan, kepanitiaan, hingga les privat dan memiliki tanda bukti keikutsertaan seperti sertifikat, itu akan sangat membantu kita untuk lulus seleksi JSP. Karena panitia seleksi bukan hanya melihat calon mahasiswanya dari nilainya saja, melainkan juga dari keaktifannya ketika di sekolah ataupun di luar sekolah. Jika kita sudah diterima melalui jalur JSP, kita tinggal fokus saja dengan ujian nasional (UN). Apabila jalur JSP tidak berpihak kepada kita, ikuti saja seleksi yang lain seperti SMPTN, UBER, atau ujian mandiri. Asalkan kita yakin, kesempatan itu pasti ada. Jadi, lakukan saja yang terbaik selama kita merasa mempunyai rasa percaya diri untuk melakukannya.

MASA-MASA PERTAMA  MASUK KAMPUS

Pertama kali masuk dunia kampus? Pasti deg-degan?
Hem, jangan heran. Itu memang sesudah seperti hal yang lazim sebagai sambutan awal bagi mental kita yang baru pertama kali mengenal dunia kampus. Apalagi adaptasi dengan lingkungannya yang sangat berbeda dengan jaman kita SMA. Seragam putih-abu sudah tidak terlihat lagi di sini. Kita bisa berganti-ganti pakaian yang ingin kita kenakan setiap hari, misalnya “Besok aku akan memakai pakaian yang mana ya?” atau “Lusa ingin bergaya seperti apa ya?” ini akan kita rasakan ketika pertama kali kuliah. Namun, selama itu sopan dan sesuai aturan kampus, kita bebas berekspresi, ko.
Sebelum perkuliahan yang sebenarnya dimulai, biasanya kita harus melewati masa orientasi peserta didik terlebih dahulu atau yang biasa dikenal dengan istilah Ospek.

Biasanya, ada dua macam Ospek yang ada di kampus, ada yang sifatnya memang legal dari kampus dengan para panitianya yang merupakan mahasiswa-mahasiswa yang sudah dipilih oleh panitia penyelenggara. Namun, ada pula ospek yang sifatnya itu memang kurang disetujui oleh pihak kampus. Untuk ospek dari kampus, biasanya diadakan selama tiga hari sampai satu minggu, walaupun terkadang membosankan, tapi kegiatan ini cukup membantu kita untuk lebih cepat mengenal kampus. Namun, untuk ospek kedua biasanya diadakan oleh kakak senior kita. Ospek ini biasanya diadakan di jurusan/fakultas masing-masing sesuai dengan pilihan kita, dan di sini kita bisa diperlakukan bermacam-macam oleh senior. Semuanya itu tidak lain hanya cara senior memperkenalkan jurusan/fakultas kepada kita juga sebagai cara awal mereka untuk mengenali juniornya. Memang terkadang berlebihan sih, tapi setelah semuanya selesai, kita akan merasakan suasana yang berbeda, ko. Malahan, sering sekali terjadi Cinta Lokasi (Cinlok) antara mahasiswa baru (Maba) dengan Seniornya. Apabila kita sudah melewati tahap ini, kita akan merasa sedikit lega dan siap untuk melanjutkan tahap berikutnya.

NEXT, HARI-HARI  PERTAMA PERKULIAHAN

Setelah melewati masa ospek, minggu selanjutnya kita sudah bisa merasakan hari pertama belajar di kampus. Kita akan merasakan sesuatu yang masih canggung di sini, terutama ketika melewati kakak senior, yang bisa kita lakukan hanya mengucapkan kata “permisi, ka”, sebagai tanda bahwa kita menghargai senior kita. Biasanya, kegiatan perkuliahan minggu pertama dan kedua belum begitu efektif. Kalaupun sudah, biasanya dosen masuk ke kelas hanya untuk melakukan perkenalan awal saja, belum membahas materi perkuliahan. Momentum ini biasanya dimanfaatkan untuk saling berkenalan di kelas untuk mulai mengenal satu sama lainnya. Tidak jarang di sini juga bisa terjadi cinta lokasi antara teman satu kelas maupun teman di luar kelas. Kalo sudah seperti itu, hanya kata “cieeee” yang akan didengar ketika teman-teman lainnya mulai menggoda. Hehehe.

LALU, BAGAIMANA DENGAN KULIAH YANG SEBENARNYA?

Nah, sekarang kita masuk ke minggu kedua atau ketiga perkuliahan. Setelah kita mulai mengenali lingkungan kampus, kita juga harus mengenal baik dosen yang akan mengajar kita. Pemahaman tentang karakter dosen juga dinilai cukup penting, karena ada dosen yang baik, ada pula yang galak atau  memiliki disiplin yang tinggi, semuanya penting untuk kita pahami. Satu hal yang perlu kita garis bawahi bahwa Jangan menyamakan dosen dengan guru, karena dosen berbeda dengan guru. Di sekolah, guru mungkin bisa lebih cepat menghafal anak muridnya dan lebih cepat akrab dengan muridnya. Namun, berbeda dengan dosen, ia biasanya cenderung lebih cuek dengan mahasiswanya. Ada dosen yang menyenangkan, ada pula dosen yang membuat kita takut atau bosan dengan mata kuliahnya. Namun, bagaimanapun dosennya, kita harus bisa menerima aturan dan cara pengajarannya yang beragam. Intelektualitas dan keaktifan harus kita tonjolkan di sini.

Jadi, selamat memasuki babak baru perjalanan pendidikan menuju karirmu, masa kuliah merupakan strata yang lebih tinggi dan dipandang sebagai kaum intelektual. Kedewasaan berfikir dan bertindak sudah seperti syarat wajib yang harus kita miliki. Seperti gelar yang kini kita sandang, yang mengubah kata siswa menjadi mahasiswa.

Semoga note ini bermanfaat bagi kamu yang membacanya...
Terimakasih sudah mau membaca :)
Salam,

Faisal Abduh Habibullah

IMPLIKATUR DALAM PERCAKAPAN


IMPLIKATUR DALAM PERCAKAPAN

·         Fonologi adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari bunyi-bunyi bahsa menurut fungsinya.
·         Morfologi adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari seluk beluk kata, serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap golongan dan arti kata.
·         Sintaksis adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari penggabungan satuan-satuan bahasa yang berupa kata untuk membentuk satuan kebahasaan yang lebih besar seperti frasa, klausa, kalimat, dan wacana
·         Semantik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari makna satuan bahasa, baik makna leksikal maupun makna gramatikal
·         Progmatik adalah kajian dari hubungan antara bahasa dan konteks yang mendasari penjelasan pengertian bahasa (levinson)

Makna Sumpah Pemuda yang Memudar


Makna Sumpah Pemuda yang Memudar
Oleh: Faisal Abduh
Sumpah Pemuda merupakan salah satu peristiwa sejarah yang penting bagi Bangsa Indonesia. Pada saat itu, rumusan Sumpah Pemuda akhirnya terbentuk dari hasil Kongres Pemuda kedua yang  berasal dari Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) yang diselenggarakan pada  28 Oktober 1928 di Gedung Oost-Java Bioscoop, Jakarta. Sejak saat itu, Indonesia yang terdiri dari beragam suku, agama, bahasa, dan budaya, diikat dalam satu peristiwa yang kita kenal dengan nama Sumpah Pemuda yang tercipta sebagai bentuk perlawanan dan keberhasilan pemuda-pemudi Indonesia dalam melawan Kolonial Belanda.
Namun, bagaimanakah makna Sumpah Pemuda bagi para pemuda-pemudi Indonesia di era seperti saat ini? Apakah Sumpah Pemuda hanya dikenal sebagai peristiwa sejarah yang cukup diperingati setiap satu kali dalam setahun melalui upacara saja, tanpa mengaplikasikannya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara? Tentu hal ini perlu dijadikan perhatian dan kesadaran bagi kita sebagai kaum penerus bangsa ini.
Sumpah Pemuda memang seharusnya bisa menjadi salah satu cara yang berperan penting dalam menumbuhkan jiwa nasionalisme. Sebagai salah satu peristiwa sejarah yang penting, peringatan Sumpah Pemuda pun selalu dilakukan setiap 28 Oktober setiap tahunnya sehingga kesadaran masyarakat akan peristiwa itu bisa terus diwujudkan. Karena apabila melihat keadaan pemuda masa kini, seperti keprihatinan tersendiri bagi kita.
Jika dihitung dari hasil wawancara terhadap 10 orang pemuda-pemudi yang diberikan pertanyaan seputar lahirnya Hari Sumpah Pemuda, mungkin hanya beberapa orang saja yang bisa menjawabnya. Keadaan ini tentu menjadi keprihatinan bagi kita, entah ini merupakan dampak era reformasi dan globalisasi yang menyebabkan pemuda-pemudi Indonesia semakin terpengaruh dengan budaya-budaya luar, atau memang kurangnya perhatian pemerintah terhadap peristiwa-peristiwa sejarah bangsa yang seharusnya dijaga dan dijadikan sebagai pelajaran berharga yang patut dijadikan pedoman oleh semua masyarakat Indonesia. Yang jelas, masuknya budaya luar ke dalam paradigma pemuda-pemudi Indonesia, tentu tidak hanya memberikan dampak positif saja, melainkan bisa menimbulkan dampak negatif yang akhirnya membuat mereka lupa terhadap jati dirinya sebagai warga Indonesia.
Pola pemikiran, gaya berbusana, pemakaian bahasa, hingga pola perilaku masyarakat masa kini juga cenderung lebih berkiblat kepada dunia Barat. Kegiatan-kegiatan yang bernuansa kebudayaan bangsa sendiri, malah lebih banyak diabaikan begitu saja. Padahal, itu semua merupakan jati diri bangsa yang seharusnya bisa dijaga dan dipelihara. Partisispasi dari pemerintahan tentu sangat dibutuhkan dalam menciptakan karakter pemuda-pemudi bangsa ini. Karena, begitu banyak faktor yang membuat mereka lupa akan peristiwa lahirnya Bumi Pertiwi. Budaya yang sedang trend atau budaya modern rupanya lebih cepat menjalar kedalam jiwa pemuda-pemudi ketimbang budaya bangsa sendiri, sehingga mereka dengan mudah mengabaikan Nilai-Nilai Pancasila sebagai pedoman berbangsa dan bernegara.
Lalu, jika sudah seperti ini, apa yang harus dilakukan untuk mengembalikan makna yang sebenanrnya dari Sumpah Pemuda itu?
Makna Sumpah Pemuda bagi pemuda-pemudi Indonesia saat ini rupanya memang semakin memprihatinkan saja. Jika kita lihat, belakangan ini semakin banyak peristiwa yang berpotensi menimbulkan perpecahan, baik di kalangan pelajar, orang-orang muda, maupun masyarakat. Dan, mirisnya lagi, peristiwa itu sering terjadi secara berulang-ulang tanpa adanya langkah antisipatif dari pemerintah atau instansi terkait. Malahan, segelintir tindakan pemerintah dianggap bisa menumbuhkan sikap arogansi terhadap generasi penerus ini. Pemerintahan yang korup seperti ilmu yang siap untuk diwariskan kepada generasi penerus bangsa ini.
Banyak hal yang sebetulnya perlu dan wajib untuk menciptakan pemuda-pemudi generasi penerus bangsa yang baik, bermutu, dan berkualitas. Peran lembaga pendidikan misalnya, dipercayai penuh sebagai lembaga pembentuk karakter pelajar maupun mahasiswa. Lembaga pendidikan harusnya mampu menciptakan generasi yang bisa dihandalkan, bukan malah menjadi tempat pembentuk jiwa otoriter. Tauran sekolah misalnya, begitu sering terjadi bahkan seperti sebuah tradisi turun-temurun bagi sejumlah sekolah di Indonesia. Dalam hal ini, peran sekolah sebagai lembaga pembimbing tentu sangatlah dibutuhkan, baik dalam tindakan sosialisasi hingga pencegahan.
Contoh lain lagi misalnya perselisihan antar kelompok pemuda yang mempersoalkan masalah sepele yang berakhir dengan perselisihan. Lebih kompleks lagi misalnya, kita singgung tentang bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang kian terbelakang dengan masuknya pengaruh budaya luar dalam pergaulan, baik di kalangan pelajar, mahasiswa, maupun masyarakat. Pengawasan penuh dari para orang tua terhadap anak-anaknya juga sangat dibutuhkan. Pergaulan yang semakin bebas, dicampur dengan pengaruh-pengaruh Budaya Barat dikhawatirkan semakin memudarkan semangat nasionalisme pemuda-pemudi terhadap bangsa ini. Budaya-budaya bangsa sebagai warisan dari para pendahulu juga sebaiknya bisa diwariskan kepada generasi penerus bangsa ini melalui beragam kegiatan. Sosialisasi dan kegiatan yang lebih mengkedepankan sikap cinta tanah air seharusnya menjadi kegiatan yang wajib untuk diikuti dan dipelajari sebagai metode menciptakan semangat nasionalisme itu.
Hal lain yang turut mempengaruhi memudarnya semangat nasionalisme ialah perkembangan teknologi dan komunikasi. Perkembangan kedua hal ini juga perlu diimbangi dengan menanamkan asas manfaat yang baik dan benar dalam penggunaannya. Karena, perkembangan kedua ilmu sebagai dampak globalisasi tersebut dianggap juga sebagai salah satu penyebab pudarnya kebiasaan-kebiasaan yang berciri khas ke-Indonesiaan. Banyak hal yang sebetulnya perlu mendapatkan perhatian agar semangat nasionalisme dan patriotisme itu tertanam di benak masyarakat, jangan sampai Bahasa Indonesia yang seharusnya dijadikan sebagai identitas diri, malahan terbelakang karena pengaruh globalisasi.
Sepertinya, hanya beberapa pemuda-pemudi saja yang memang mengerti akan makna yang sebenarnya dari Sumpah Pemuda, terlebih di jaman seperti sekarang ini yang sudah digandrungi oleh pengaruh kemajuan jaman, baik teknologi maupun komunikasi. Sepertinya, sangat sedikit sekali yang mendalami makna dari Sumpah Pemuda. Malahan, pemuda-pemudi sekarang cenderung tidak bisa mengendalikan dirinya, mereka semakin terbawa oleh arus perkembangan jaman serta pergaulan yang modern.  Namun, walaupun begitu, tetap masih ada yang mengerti makna yang sebenarnya dari janji suci itu (Sumpah Pemuda), yang mereka terapkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegaranya, yang memang bangga telah berbangsa dan bertanah air Indonesia dengan berhasil meraih prestasi bahkan menciptakan hal-hal baru yang bisa bermanfaat bagi masa depan negeri ini. Malahan, kini semakin besar pula persaingan antara pemuda-pemudi Indonesia yang ingin mengharumkan nama bangsanya di mata dunia. Hal inilah yang seharusnya kita contoh sebagai pemuda-pemudi penerus bangsa ini, dan memang sudah seharusnya kita bangga dan cinta terhadap Bumi Pertiwi, bangga dengan kebudayaan Indonesia.
Kalimat yang diucapkan oleh pemuda-pemudi Indonesia secara serentak pada 28 Oktober 1928 yang mengatakan bahwa pertama, “kami putera-puteri Indonesia yang mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia. Kedua, kami putera-puteri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Dan ketiga,  kami putera-puteri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia”, jangan sampai hanya peristiwa sejarah yang minim makna tanpa menjadikannya sebagai pedoman berbangsa dan bernegara. Karena, Sumpah Pemuda yang dibentuk setelah perjuangan panjang para pemuda dan mahasiswa kita dahulu itu, penuh dengan perjuangan panjang dari para pahlawan. Dengan ikrar itu, seharusnya pemuda-pemudi bangsa ini semakin semangat menjadi generasi penerus bangsa demi membangun bangsa yang lebih baik, bersatu dan saling bahu-membahu dengan berpegang teguh kepada nilai-nilai persaudaraan.
Dengan banyaknya suku, bahasa, agama, dan budaya Indonesia, seharusnya sikap toleransi juga dipegang teguh demi memperkuat pertahanan dan persatuan. Tak lupa, sikap nasionalisme serta jiwa berwawasan yang luas juga harus dijadikan sebagai acuan dalam berbangsa dan bernegara.
Satu demi satu kalimat Sumpah Pemuda itu sebaiknya bisa kita hayati dengan baik lagi, untuk melupakan primordialisme tentang keragaman bangsa seperti suku, ras, agama, dan budaya. Justru dengan keragaman itu, seharusnya menjadikan kita bangga akan kekayaan bangsa kita, bukan malah saling berbenturan karena konflik kepentingan, merasa paling unggul atau merasa dirinya pemimpin. Doktrin sekelompok orang yang merasa dirinya unggul, justru harus dihilangkan dengan lebih mengkedepankan toleransi antar sesama.
Kini, 83 tahun sudah hari lahirnya Sumpah Pemuda diperingati, namun apakah makna Sumpah Pemuda akan tetap sama seperti tahun-tahun sebelumnya yang hanya berupa seremonial belaka?
Menjelang hari peringatan Sumpah Pemuda yang ke-83 ini, pemuda-pemudi negeri ini diharapkan lebih bisa mengaplikasikan maknanya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, membentuk pola pikir luas, serta diimbangi dengan tanggung jawab dan cinta tanah air. Peringatan Hari Sumpah Pemuda diharapkan mampu menghapus paradigma Budaya Barat agar menciptakan pemuda-pemudi yang bangga terhadap bangsa ini, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.